Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

 

POTRET DAN HARAPAN PENILAIAN PENDIDIKAN

Tinjauan Filsafat, Ideologi, Paradigma Penilaian Pendidikan

 

Widinda Normalia Arlianty

Universitas Negeri Yogyakarta

widinda0140pasca.2022@student.uny.ac.id

 

 

ABSTRAK

Penilaian Pendidikan dapat dijabarkan dan ditinjau dari tiga hal yaitu filsafat, ideologi dan paradigma. Penilaian adalah sebuah kegiatan yang dilakukan guna untuk mencapai tujuan pembelajaran dan melihat tercapaianya pemahaman. Penilaian Pendidikan sangat bergantung terhadap proses pembelajaran yang dilaknsanakan. Menurut ideologi Pendidikan, penilaian Pendidikan ada penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal seperti penilaian sumatif dan formatif yang dipengaruhi oleh adanya politik. Sementara penilaian internal merupakan penilaian yang berbasis goal-free. Penilaian berbasis goal-free diantaranya seperti Classroom Based Test dan Authentic assessment (Portofolio, proyek, kinerja/performa). Jenis penilaian ini bisa dikatakan inovatif jika penggunaannya juga disesuaikan dengan pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan dengan mempertimbangkan ideologi, filsafat dan paradigma penilaian. Berdasarkan literatur bahwa model pembelajaran yang cocok menggunakan penilaian authentic dalam pembelajaran kimia adalah STEAM, Inquiry, PjBL, Brunner, Scientific, Montessori, Collaborative, Challenges, Inclussive, Joyfull Learning, Authentic, Lab Practice. Sementara Model pembelajaran yang cocok menggunakan Classroom Based Assessment dalam pembelajaran adalah Positive Behavior Support (PBS), Pendekatan Collaborative, dan pendekatan Individually.

 

Kata kunci: penilaian kimia, filsafat penilaian, ideologi penilaian.



1.   PENDAHULUAN

Saat ini dunia pendidikan bergerak menuju persaingan. Rakyat berjuang untuk belajar, dan bekerja keras untuk menciptakan pembelajaran baru lingkungan. Tujuan pendidikan bukan hanya mengajar buku teks dan membuat siswa mengerti tetapi juga menambahkan pemikiran inovatif, kreatif dan swasembada. Itu sebabnya institusi harus menyertakan metode yang inovatif melalui komunikasi yang baik supaya berdampak pada pengetahuan yang baik. Dalam menemukan metode pengajaran yang inovatif adalah keterampilan yang sangat penting. Beberapa penelitian banyak membuktikan bahwa metode dan pendekatan tertentu bisa benar-benar meningkatkan keterampilan belajar. Beberapa metode inovatif pengajaran bisa menjadi kombinasi dari berbagai media digital jenis seperti teks, gambar, audio dan video, menjadi satu kesatuan yang disebut aplikasi atau presentasi interaktif multi-indera untuk disampaikan informasi kepada khalayak (Burn, 1996).

   Dalam pendidikan, keterlibatan mahasiswa terhadap pada pembelajaran ditunjukkan melalui perhatian, rasa ingin tahu, minat, optimisme, dan semangat yang pada saat sedang belajar atau diajar, dan nantinya akan meningkat ke tingkat motivasi yang mereka miliki untuk belajar dan maju dalam pendidikan mereka. Ketika siswa terlibat dengan pembelajaran yang diajarkan, mereka belajar lebih banyak dan mempertahankan lebih banyak. Siswa yang berlajar lebih bermakna dan mendalam cenderung lebih bertahan dan menikmati arti belajar. Oleh karena itu tugas guru adalah membuat siswa di kelas tertarik terhadap pembelajaran yang kita berikan (Yager, 1991).

Pengajaran inovatif berarti kreativitas dan kebaruan guru yang mengubah gaya dan metode mengajar. Semua seluruh dunia, lembaga pendidikan menerapkan baru ide, metode, inovasi berbasis teknologi untuk meningkatkan pengetahuan siswa. Pengajaran inovatif diperlukan untuk masa kini dan masa depan pendidikan untuk membantu siswa mencapai potensi penuh mereka. Pendidikan tinggi harus melayani kebutuhan intelektual siswa dalam jangka panjang, misalnya, apakah menyediakan materi baru oleh guru membantu siswa memperoleh wawasan baru atau membuka saluran baru stimulasi intelektual atau meningkatkan daya berpikir penting dan kreatif siswa? Pengajaran yang inovatif adalah kebutuhan bagi semua orang guru dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan yang baru. Namun, kompetensi guru untuk pengajaran inovatif merupakan faktor kunci yang mempengaruhi kinerja pengajaran inovatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak guru tidak memiliki kompetensi untuk mengajar inovatif (Kalyani & Rajasekaran, 2018).

Praktik pengajaran tentunya tidak akan terlepas dengan peniliana. Pembelajaran selalu saja dikaitkan dengan hasil penilaian yang didapatkan. Jika hasil penilaian yang didapat tidak sesuai dengan harapan, maka seringkali siswa dianggap tidak mampu secara kognitif memahami materi ajar. Padahal konteks seperti ini tidaklah selalu benar. Seharusnya kemampuan siswa tidak boleh dijustifikasi hanya karena penilaian yang didapatkan tidak sesuai dengan kriteri yang diharapkan. Begitulah manusia, manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari kebenaran yang sesungguhnya, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan bertanya. Namun, setiap jawaban belum tentu diterima begitu saja, karena ia harus mengujinya dengan metode tertentu yang diketahuinya. Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia berdialektika untuk terus mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada atau menemukan teori baru dengan runtuhnya teori lama. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya (Harrison dkk, 2016).

Untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadikan filsafat harus dipelajari. Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi, bukan asal bertindak sabagaimana yang biasa dilakukan manusia. Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai dengan jalan biasa, memerlukan langkah-langkah tertenu, khusus, istimewa. Beberapa langkah menuju kearah kebijaksanaan itu antara lain: 1) membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat kita junjung tinggi, 2) Berusaha untuk memadukan (sintesis) hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusian, sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta beserta isinya, 3) mempelajari dan mencermati jalan pemikiran para filsuf dan meletakkannya sebagai pisau analisis untuk memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan konkrit, sejauh pemikiran itu memang relevan dengan situasi yang kita hadapi, 4) menelusuri hikmah yang terkandung dalam ajaran agama, sebab agama merupakan sumber kebijaksanaan hidup manusia (Shank, 2007).

Pengetahuan merupakan hasil dari pengindraan, pengalaman dan sintesa antara keduanya. Bagaimanapun, itu semua terjadi secara simultan dan berkelanjutan, senantiasa selalu berproses dan tak pernah berhenti. Penilaian adalah barometer pengetahuan yang mana seharusnya bersifat dinamis, karena nilai harus benar-benar merefleksikan pengetahuan yang terus berproses, bukan pengetahuan yang sementara namun berlaku untuk selamanya (Noddings, 1995). Salah satu tugas sebagai pendidik adalah melakukan penilaian hingga memberikan hasil dalam bentuk nilai bisa berupa angka maupun huruf. Tanpa disadari penilaian ini sangat berpengaruh pada peserta didik. Nilai bisa memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif adalah saat peserta didik mendapat nilai dengan predikat yang dianggap “Bagus” atau “Lulus” atau “Kompeten” maka tentu akan membangkitkan motivasi. Tapi tentu sebaliknya, jika peserta didik mendapat nilai dengan predikat “Tidak Kompeten” atau “Tidak Lulus” atau “Tidak memenuhi target” maka justru akan berdampak negatif yang akan menghancurkan motivasi peserta didik dalam belajar. Begitu besar makna simbol, kata, kalimat bahkan angka yang menggambarkan penilaian terhadap keberhasilan belajar peserta didik yang tentunya akan membekas secara permanen dan membuat peserta didik mampu memotret kemampaun dirinya sendiri berdasar penilaian tersebut, padahal perlu untuk dipertanyakan “apakah proses penilaian yang dilakukan sudah benar dan tepat tujuan atau hanya mengikuti aturan Pendidikan yang ada?”. Sementara pengetahuan akan selalu berproses, berkembang, berjalan, mengapa penilaian selalu sering dianggap permanen dan harga mati dalam memotret kemampuan peserta didik. Maka sebagai pendidik, perlu untuk memahami secara jelas filsafat, ideologi, paradigma hingga penerapan penilaian yang tepat supaya penilaian ini tidak menghancurkan motivasi peserta didik sebagai tombak masa depan negara.

2.   FILSAFAT PENILAIAN

Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah olah pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya. Immanuel Kant (1671) menyatakan “jika engkau ingin mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri, karena dunia itu sama persis dengan apa yang sedang engkau pikirkan”. Implikasi dari pendapat di atas adalah bahwa segala macam Filsafat dan Aliran Filsafat sangat mungkin bukan di sana, melainkan dia ada sangat dekat dengan kita, yaitu pikiran kita sendiri. Filsafat memiliki beberapa aliran diantaranya Filsafat yang sifatnya tradisional jika dilihat dari obyek yang diamati diantaranya adalah Filsafat Otoritarianisme, Filsafat Absolutisisme, Fislafat Behaviorism, Filsafat Kapitalisme, Filsafat Sosialis, Filsafat Pragmatis, Filsafat Materialis, filsafat Utilitarianism. Sementara Filsafat yang sifatnya lebih inovatif diantaranya dalah Filsafat Scientism, Filsafat Demokratisisme, Filsafat Progressive, Filsafat Construktivism, Filsafat Cognitivism, dan Bahan Filsafat yang bersifat fakultatif adalah Filsafat Hermeneutics. Sifat tetap dan berubah dari objek filsafat mampu membawa dampak pada potensi yang baik maupun buruk. Misalnya saja: Filsafat Otoritarianism jika secara moral sifatnya egosentris maka menjadi potensi yang buruk dan memerlukan filsafat yang lain untuk membantu menyeimbangkan supaya menjadi potensi yang baik. Filsafat penilaian juga tentu berpengaruh jika objek Filsafatnya adalah Filsafat Otoritarianisme, Filsafat Absolutisisme, Fislafat Behaviorism Filsafat kapitalisme, Filsafat Sosialis, Filsafat Pragmatis, Filsafat Materialis, filsafat Utilitarianism menjadi dasar dalam Pendidikan yang dijalani (Marsigit, 2014).

Pendidikan yang akan dijalani di negara kita bergantung pada pola pikir kita, bagaiamana cara kita berfilsafat. Jika bisa dirasakan, Pendidikan di negara Indonesia masihlah tertanam secara mendalam Pendidikan kapitalisme. Tanpa sadar kita sudah memulai kehidupan dengan terkotak-kotak dalam banyak hal. Misalkan saja Pendidikan yang berkualitas sering kali hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orang dengan kemampuan menengah ke atas. Sementara orang yang memiliki kemampuan menengah ke bawah sulit mengakses secara mudah Pendidikan berkualitas yag seharusnya bisa diterima untuk semua kalangan. Selain itu secara tidak sadar pula penyelenggaraan Pendidikan diciptakan berkluster-kluster dengan dalih untuk meningkatkan kualitas hingga muncul sekolah-sekolah dengan kurikulum bertaraf internasioanl dengan biaya berkelas-kelas juga. Selain dari kondisi Pendidikan, secara specifik juga bisa dilihat, misalkan saja di dalam Filsafat Otoritarianisme, moral yang dibentuk adalah egosentrisisme yang mana artinya perhatian yang berlebihan pada diri sendiri dan berfokus untuk kesejahteraan atau keuntungan sendiri dengan mengorbankan atau mengabaikan orang lain. Jika moral Pendidikan yang dimiliki sudah didasari oleh filsafat egosentrisisme maka tentu obyek filsafat yang lain akan mengikuti seperti pada obyek penilaian Filsafat otoritarianisme

Obyek penilaian Filsafat otoritarianisme, filsafat penilaian yang dilakukan berbentuk Egosentrisisme-Eksternal. Hal ini menunjukkan yang mana semua penilaian yang dilakukan dalam bidang Pendidikan, diatur oleh orang yang berkuasa, diatur oleh kepentingan satu orang dan proses penilaian yang dilakukan dikembangkan oleh badan atau Lembaga di luar sekolah (Eksternal). Penilaian Pendidikan yang seperti ini rentan membawa dampak yang buruk. Proses Pendidikan yang dijalani belum memiliki dasar filsafat Pendidikan yang tepat supaya penilaian yang dilaksanakan juga tepat. Seharusnya jika kita mampu berolah pikir, mampu berfilsafat dengan benar, harapan terhadap proses Pendidikan yang ada di Indonesia diarahkan kepada Pendidikan yang memiliki filsafat yang inovatif seperti Filsafat Scientism, Filsafat Demokratisisme, Filsafat Progressive, Filsafat Construktivism, Filsafat Cognitivism dan Filsafat Hermeneutics, yang mana sangat menjunjung tinggi moral. Guru dalam Pendidikan diberikan kebebasan untuk kreatif-interaktif dalam menyediakan sumber-sumber belajar. Tugas siswa adalah mengkonstruk secara bebas bertanggung jawab proses pembelajaran yang dilaksanakan. Jika proses pembelajaran yang dilaksanakan secara demokratis, maka penilaiapun juga akan sangat bervariasi, menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, fleksibel, lebih luwes, tidak mematahkan motivasi siswa karena semua kemampuan siswa bisa teramati (Davies, dkk, 2013).

Penilaian juga tidak hanya pada kemampuan kognitif yang mana proses penilaianya terstandar harus menggunakan milik pemerintah, tetapi jika menggunakan filsafat demokratis kemampuan siswa dalam ranah pengethaun, sikap, ketrampilan maupun kemampuan lainya dapat teramati dan diakui. Sejatinya memang setiap individu tidak selalu memiliki kemampuan yang sama, itulah sebabnya perlu untuk memahami dengan benar filsafat Pendidikan dan penilaian yang akan dijadikan sebagai landasan  membawa masa depan yang lebih bijaksana (Shohamy, 2001).

 

3.   IDEOLOGI PENILAIAN

Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ideologi. Ideologi merupakan aspek internal yang melekat dalam diri manusia. Segala tindakan, sikap, dan pemikiran yang dimilikinya pasti dipengaruhi oleh ideologi yang diterimanya. Bahkan, ketika berpikir tidak terpengaruh oleh suatu pemahaman, manusia baru saja menunjukkan bahwa dirinya memiliki ideologi tertentu. Ideologi disebarkan dengan cara melibatkan berbagai lembaga, seperti media massa, sekolah, atau lingkungan sekitar. Selain menjadi dasar pemikiran internal manusia, ideologi juga digunakan untuk menyikapi hal eksternal. Ideologi berfungsi sebagai dasar penciptaan ruang mobilisasi manusia dan mengorganisasikan massa. Ideologi dapat menjadi standar yang secara tidak langsung memengaruhi segala penilaian, sikap, dan tindakan seseorang terhadap hal eksternal. Misalnya saja mereka yang memiliki anggapan bahwa musik adalah haram, maka akan menilai segala bentuk musik merupakan hal yang haram (Fine & Sandstrom, 2013).

Pendidikan tidak sekedar hanya dipandang sebagai wadah untuk mestimulasi potensi anak agar berkembang kearah yang lebih baik, namun pendidikan harus dipandang lebih jauh dari yaitu memanusiakan manusia. Bangsa yang tangguh adalah bangsa yang mampu secara dinamis dan kreatif menembus ruang dan waktu. Ideologi merupakan bentuk operasionalisasi Filsafat. Ideologi sebagai bentuk operasionalisasi Filsafat sehingga Ideologi adalah Filsafat yang dioperasionalkan. Ideologi bersifat plural dan kontekstual dan merupakan cara untuk memeroleh keadaan yang di Ideal kan (Marsigit, 2014). Dengan demikian ideologi suatu negara menjadi hal penting untuk dipikirkan, supaya membawa orang dan bangsa ini mampu berpikir ke arah kemajuan. Ideologi bermacam-macam misalnya Ideologi Kapitalisme, Ideologi Pragmatisme, Ideologi Utilitarianisme, Ideologi Saintisisme, Ideologi Kapitalis. Semua ideologi tersebut dapat sekaligus merefleksikan filsafatnya.

Pendidikan memerlukan landasarn yang jelas untuk membawa bangsa kepada kemajuan. Ideologi Pendidikan menurut Marsigit (2015) yang diadaptasi dari Paul Ernest (1995) terdapat 5 aliran ideologi Pendidikan diantaranya: 1) Industrial trainer; 2) Tecchnological Pragmatism; 3) Old Humaism; 4) Progressive Educator; dan 5) Public Educator. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Filsafat, Ideologi dan Paradigma Dunia (Sumber: Marsigit adaptasi Ernest, 2014)

Dari kelima aliran di atas dapat dipelajari lebih dalam bahwa kelima aliran diatas menunjukkan ideologi bisa digunakan sebagai dasar penilian. Poin-poin yang perlu kita fokuskan adalah obyek evaluasi. Dalam obyek evaluasi pada masing-masing aliran menunjukkan bahwa semakin ke kiri bentuk penilaian yang digunakan adalah eksternal tes. Hal ini terjadi pada ideologi aliran industrial trainer, technological Pragmatism, dan Old Humanism. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa eksternal tes merupakan suatu proses dan metode penilaian yang dikembangkan dan digunakan oleh badan atau lembaga pemeriksaan selain sekolah peserta didik.  Saat hasil pekerjaan siswa dinilai secara eksternal, artinya bahwa penilaian tersebut dilakukan di luar sekolah. Penilaian eksternal dimaksudkan untuk menilai pencapaian dalam suatu mata pelajaran berdasarkan silabus yang ditetapkan atau ditandai oleh pihak eksternal yang berwenang terhadap sekolah dan pelaksanaan program, menggunakan standar dan soal yang sama untuk sekolah-sekolah. (Yambi, 2020). Salah satu contoh bentuk eksternal tes adalah Ujian Nasional (UN). Penilaian seperti ini membuat standar tertentu yang harus dicapai oleh siswa, sementara siswa yang tidak mencapai hal tersebut maka tentu dinilai sebagai siswa yang belum kompeten. Secara praktis siswa akan tunduk dan berusaha segala cara untuk mencapai standar penilaian yang telah ditetapkan oleh penguasa. Hal ini menyebabkan siswa terjebak dan tidak mampu mengembangkan kemampuan yang dimili. Alih-alih mendapatkan ilmu yang bermakna, kreatif saja pun akan susah untuk dilaksanakan. Maka tentu harapan Pendidikan itu seharusnya didasari pada aliran sebelah kanan (Gambar 1) yaitu progressive educator dan Public Educator. Dua aliran ini sebenarnya harapan bagi semua orang karena bisa dijadikan landasan ideologi yang tepat dan ideal. Bentuk penilaian yang digunakan juga lebih fleksibel seperti: Penilaian portofolio dan sosial konteks.

Penilaian portofolio merupakan teknik penilaian yang dilakukan dengan cara menilai kumpulan hasil karya, tugas, prestasi akademik maupun non akademik yang dihasilkan oleh siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Pada dasarnya, penilaian portofolio ini dilakukan untuk memberikan gambaran minat, bakat, kreativitas, daya serap dan perkembangan siswa selama mengikuti pembelajaran pada periode tertentu (misalnya satu semester) McMillan (2001). Penilaian konteks didefinisikan sebagai latihan dalam pengumpulan dan analisis informasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang penyelidikan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pendekatan kontekstual sangat penting untuk menentukan jenis keterampilan sosial yang bermakna dalam interaksi sosial anak. Melalui penilaian kontekstual, seorang penilai dapat memahami keterampilan sosial, tidak hanya harus perilaku dan perspektif seorang anak yang di diperiksa atau dinilai, tetapi tanggapan dan harapan sosial dari lingkungan di mana anak itu berinteraksi juga harus diperhitungkan (Warnes et al., 2005). Melalui dua bentuk penilaian ini diharapkan siswa semamkin mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Siswa diberikan kebebasan mengeksplore banyak hal, diberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan, diberikan kesempatan untuk mengasah kemampun selain kognitif (keterampilan dan sikap). Evaluasi seperti ini sangat membantu siswa untuk menerima berbagai perbedaan. Siswa tidak terkotak-kotak hanya karena kemampuan akdemis saja, tetapi siswa bisa diterima dengan berbagai kelebihan meskipun bukan secara akademik saja. Siswa diberikan kesempatan mengkonstruk mater ajar dari berbagai sumber, bukan seperti gelas kosong yang hanya akan dituang materi/ilmu oleh pendidik. Siswa akan terbiasa mencari tahu dari lingkungan berbagai macam dari hal ketidak tahuannya karena siswa merasa “butuh” untu tahu, bukan hanya siswa diam dan menerima saja.


1.   PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN

Sistem pendidikan di Indonesia telah berkembang selama tiga tahun terakhir dan menghasilkan banyak kemajuan di beberapa aspek. Salah satunya adalah perubahan paradigma mengenai sistem penilaian. Namun perubahan yang terjadi tidak serta merta mampu mengubah konsepsi seputar penilaian pendidikan. Penilaian tidak hanya memiliki peran dalam pembelajaran, namun merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita memahami manfaat dan tujuan dari setiap penilaia.

Tenaga pendidikan di Indonesia masih memiliki pandangan yang menganggap bahwa penilaian adalah tes dan hasil pembelajaran adalah nilai/skor. Padahal, sejatinya miskonsepsi ini justru akan menghambat proses belajar dan pengembangan kemampuan siswa secara optimal. Diantara begitu banyaknya macam metode penilaian yang diciptakan, tenaga pendidik dituntut untuk cermat dalam menentukan sistem penilaian yang tepat. Fokus dan capaian pembelajaran yang seharusnya bertumpu pada pembentukan keterampilan dan penguasaan pengetahuan setiap anak didik justru memberatkan pada capaian nilai akhir semata. Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan bergantung sebagian besar pada praktek penilaian dan pemeriksaan yang sesuai. Pengembangan keterampilan dan pengetahuan anak yang mengedepankan proses dan penguasaan pemahaman kini telah menjadi perhatian dan prioritas. Pemahaman mengenai sistem penilaian yang tepat dan sesuai merupakan salah satu langkah demi terciptanya perubahan positif dalam lingkup sistem penilaian di masa depan (Garfield, 1994).

Kondisi Nyata Penilaian Hasil Belajar Kimia Saat Ini 

Penilaian sangat penting dalam proses belajar mengajar. Dalam pengajaran kimia, para penyebaran penilaian untuk memastikan tingkat asimilasi dan pemahaman konsep yang diajarkan di kelas dianggap sentral dalam proses pembelajaran. Melalui penilaian, guru memeriksa pemahaman siswa dan mendapatkan umpan balik yang berharga yaitu hasil belajar siswa. Hasil belajar ini digunakan untuk memodifikasi dan meningkatkan instruksi cara belajar beserta penilaian yang digunakan. Namun, tatanan Pendidikan dunia berubah drastis akibat darurat COVID-19 yang mempengaruhi cara penyampaian Pendidikan. Satu-satunya pilihan untuk menyampaikan proses pembelajaran dan penilaian adalah melalui penyebaran teknologi untuk dapat bertemu tuntutan pandemi dan protocol. Informasi dan Komunikasi Teknologi (TIK) mempengaruhi setiap aspek kehidupan, termasuk Pendidikan. Guru kimia harus menggunakan alat TIK yang relevan untuk memantau kemajuan akademik siswa dan memberikan umpan balik efektif berbasis TIK untuk penilaian pembelajaran kimia. Akibatnya, TIK harus dikerahkan untuk membantu guru kimia dalam melaksanakan penilaian untuk pembelajara, mendiagnosa pemahaman dan kesulitan peserta didik selama proses pengajaran (Opateye & Ewim, 2021). Penilaian hasil belajar kimia yang dilakukan di sekolah-sekolah saat ini, masih didominasi oleh asesemen produk yang dilakukan dalam bentuk tes. Tes yang digunakan didominasi oleh bentuk tes pilihan ganda yang menyediakan alternatif jawaban dari soal-soal yang diberikan (Bennet dkk, 2017). Selain itu, asesmen, umumnya, dilakukan secara periodik dalam bentuk ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS). Penilain proses, secara umum, sudah dilakukan namun, proses pelaksanaan dan intrumen yang digunakan belum baik dan terkesan dilakukan untuk memenuhi tuntutan kurikulum.

Apabila dilihat lebih dalam, tes pilihan ganda yang digunakan untuk menilai capaian hasil belajar siswa, maka ditemukan bahwa isinya lebih banyak menyangkut pengetahuan faktual dan konseptual, sedangkan jenis pengetahuan prosedural dan metakognitif sangat kurang. Tes pengetahuan faktual cenderung menggiring siswa untuk menghapalkan fakta-fakta secara diskrit tanpa disertai dengan kemampuan membangun hubungan antar fakta-fakta yang ada (Bailey, 1998; Simonson 2000). Secara teoretis, pengetahuan faktual yang tidak disertai dengan pemahaman terhadap hubungan antara fakta yang satu dengan fakta lainnya tidak akan bertahan lama dalam ingatan siswa dan cenderung mudah dilupakan. Sebagai akibatnya, mereka akan selalu mulai dari awal ketika mempelajari hal-hal yang sebenarnya berkaitan erat dengan pelajaran sebelumnya. Demikian pula halnya dengan tes yang mengandung pengetahuan konseptual. Pengetahuan konseptual hanya menyasar pada pengetahuan tentang wujud sebuah konsep (definisi). Apabila difinisi hanya dihapalkan, maka definisi yang dipelajari tidak akan membantu mereka untuk menggunakan definisi tersebut dalam mengurai suatu persoalan yang sesungguhnya ada (Simonson 2000; Dikli, 2003).

Rendahnya proporsi pengetahuan prosedural dan metakognitif dalam tes, berdampak pada rendahnya kemampuan penalaran siswa karena mereka tidak terlatihkan untuk mengembangkan penalarannya untuk menilai prosedur dan mengembangkan prosedur, misalnya, untuk memecahkan masalah. Asesmen tentang pengetahuan prosedural dan metakognitif tidak mampu sepenuhnya diakomudasi oleh bentuk-bentuk tes pilihan ganda. Oleh karena itu, perlu dikembangkan asesmen yang menggunakan tes uraian atau esai. Pentingnya metakognisi ditunjukkan oleh hubungannya dengan ukuran kemampuan dan prestasi (van Kraayenoord dan Schneider 1999; Pressley et al.1989). Siswa yang mengatur sendiri belajarnya atau memiliki pengetahuan metakognitif yang lebih canggih lebih baik di sekolah daripada rekan-rekan mereka dengan perilaku belajar metakognitif pengetahuan kurang (Handel et al, 2014).

Walaupun guru dalam keseharian menemani siswa belajar di kelas, namun penilaian guru terhadap hasil belajar siswa, secara dominan, diambil dari asesmen yang dilakukan secara periodik (UTS dan UAS). Kemajuan siswa dalam belajar yang menyangkut ranah sikap dan keterampilan yang ditunjukkan selama proses pembelajaran kurang mendapat perhatian dalam penilaian akhir hasil belajar siswa, kalaupun itu ada, hal tersebut belum dilakukan dengan dukungan catatan fakta-fakta kemajuan belajar siswa. Hal tersebut dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan proses belajar yang semestinya dilakukan secara berkelanjutan dilakukan secara berkala (periodik). Sebagai akibatnya, siswa baru akan belajar menjelang UTS atau UAS (Maranan, 2017). Penilaian hasil belajar yang dilakukan dalam rangka implementasi Kurikulum 2013 sangat banyak dan sangat kompleks. Hal tersebut, sebagian, telah disadari oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan pedoman baru tentang penilaian hasil belajar. Walaupun pedoman baru telah diterbitkan, tampaknya pemahaman para guru tentang penilaian hasil belajar, khususnya dalam pembelajaran sains kimia masih perlu ditingkatkan karena kegagalan dalam mengkonstruksi instrumen penilaian hasil belajar erat kaitanya dengan kegagalan dalam memahami hakikat sains kimia dan pembelajarannya.


Paradigma Penilaian Hasil Belajar Sains (Kimia)

Penilaian adalah jantung pengalaman siswa (Brown & Knight, 1994) dan bisa menjadi alat yang ampuh dalam memastikan keterlibatan dan keberhasilan siswa (Sambell, 2016) jika diterapkan dengan tepat. Pendekatan penilaian tradisional (assessment of learning) tampaknya memiliki efek sebaliknya, sering berhasil menciptakan perasaan patuh dan tidak berdaya (Sambell, 2016). Oleh karena itu ada dua pendekatan yang perlu dipertimbangkan dalam alternatif penilaian, yaitu penilaian untuk pembelajaran (assessment for learning), dan penialain sebagai pembelajaran (assessment as learning). Melalui pendekatan ini dapat menghasilkan peningkatan keterlibatan dan keberhasilan siswa serta peningkatan pemikiran kritis dan keterampilan evaluatif pada siswa. Penilaian yang dilakukan dalam pembelajaran tidak hanya penilaian atas pembelajaran (assessment of learning), tetapi juga penilaian untuk pembelajaran (assessment for learning), dan penialain sebagai pembelajaran (assessment as learning). Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar tidak hanya ditujukan untuk mengukur capaian atas pembelajaran, tetapi juga untuk perbaikan pembelajaran dan sebagai bahan pelajaran. Oleh karena itu, perbaikan paradigma pembelajaran dapat digunakan sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran (Earl, 2003; 2012).

Dengan memperhatikan kondisi nyata penilaian hasil belajar sains (kimia) yang dilakukan di sekolah dan di perguruan tinggi saat ini, hakikat sains (kimia), dan hakikat pembelajaran sains kimia, paradigma penilaian hasil belajar sains kimia harus diperbaharui. Pembaharuan tersebut dapat dilakukan dalam tiga aspek pokok, yaitu: pembaharuan lingkup penilaian, pembaharuan objek penilaian, dan pembaharuan waktu penilaian.

Pembaharuan paradigma dalam lingkup penilaian adalah perubahan pola pikir terhadap cakupan aspek hasil belajar yang harus dinilai. Dalam hal ini, penilaian hasil belajar sains (kimia) hendaknya menuju pada penilaian komprehensif dan kontekstual. Yang dimaksud penilaian komprehensif dan kontekstual dalam pembelajaran sains (kimia) adalah penilaian hasil belajar yang melibatkan penilaian proses dan penilaian produk dengan melibatkan ketiga ranah penilaian, yaitu ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta mengikutsertakan lingkungan sekitar dalam mengkonstruk pemahaman dan pengetahuan. Penilaian pengetahuan dilakukan sesuai dengan tuntutan kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum, penilaian sikap diarahkan pada perkembangan sikap ilmiah yang dimiliki oleh peserta didik, dan penilaian keterampilan ditekankan pada penilaian kemampuan peserta didik dalam mengimplementasikan metode ilmiah (Tacoshi & Fernandez, 2014).

Di antara tiga ranah penilaian tersebut (sikap, pengetahuan, keterampilan), pengembangan sikap dan keterampilan memerlukan waktu dan kesabaran para pendidik. Pengembangan sikap harus dikondisikan secara terus menerus sampai menjadi kebiasaan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat tantangan-tantangan masalah bagi peserta didik yang harus dipecahkan dengan dorongan rasa ingin tahu, secara jujur, secara hati-hati, secara objektif, dan lainlain (Fernandez, Holbrook, Mamlok-Naaman & Coll, 2013). Pengembangan keterampilan harus diulangi berkali-kali sampai terampil. Misalnya, melakukan pengukuran berat dengan jalan menimbang harus dilakukan berkali-kali sampai peserta didik mampu menimbang zat yang dibutuhkan dengan takaran yang tepat dan dalam waktu yang singkat. Apabila penilaian sudah dilakukan dengan melibatkan produk dan proses sains (kimia), maka hal berikutnya yang harus diperhatikan adalah memberikan proporsi bobot penilaian agar sesuai dengan kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum (Shwartz, Dori & Treagust, 2013; Jamison, 2013; Hume & Coll, 2009).

Pembaharuan paradigma dalam objek penilaian adalah perubahan pola pikir terhadap hal-hal yang harus dinilai sebagai hasil belajar sains. Dalam hal ini, penilaian hasil belajar harus diarahkan pada penilaian otentik. Artinya, penilaian harus dilakukan sesuai dengan kegiatan real pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik. Jangan sampai penilaian dilakukan tidak sesuai dengan kegiatan yang dilakukan peserta didik dalam pembelajaran (Mueller, Stiggins, 1987). Misalnya, apabila peserta didik dituntut untuk melakukan praktikum dan melaporkan hasil praktikumnya, maka penilaian harus melibatkan proses praktikum yang dilakukan peserta didik dan penilaian terhadap laporan hasil praktikum yang dibuatnya; apabila peserta didik diminta untuk berdiskusi untuk memahami suatu materi, maka penilaian hasil belajarnya harus melibatkan penilain kegiatan diskusi dan penguasaan materi yang didiskusikan.

Pembaharuan paradigma dalam waktu penilaian adalah perubahan pola pikir terhadap jalannya penilaian. Dalam hal ini, penilaian hasil belajar harus dilakukan secara terus menerus selama proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar sains (kimia) tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan capaian saat UTS dan UAS saja, melainkan perkembangan peserta didik dalam keseharian harus diperhatikan, terutama perkembangan sikap ilmiah dan keterampilan ilmiah yang dimiliki selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian yang dilakukan hendaknya berbasis pada kegiatan kelas yang mana penilaian ini dimaksudkan menilai keseluruhan aktivitas siswa secara kognitif, afektf, psikomotor yang tumbuh dan timbul di dalam kelas saat proses pembelajarn berlangsung (McDonald, 1992).

 

1.   FILSAFAT, IDEOLOGI, PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN KONSTRUKTIVISME

Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya. Merasa kurang lengkap untuk mengetahui dari pada teori konstruktivisme sebelum mengetahui pendapat-pendapat dari pada pakar ahli, diantaranya yaitu: Konstruktivisme sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang di pelajari. Konstruktivisme merupakan bagaimana menghasilkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya, dengan kata lain bahwa bagaimana memadukan sebuah pembelajaran dengan melakukan atau mempraktikkan dalam kehidupannya supaya berguna untuk kemaslahatan. Konstuktivisme adalah aktivitas yang aktif, di mana peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dimilikinya (Shymansky, 1992).

Konstruktivisme adalah teori belajar yang berpendapat bahwa pengetahuan paling baik diperoleh melalui proses refleksi dan konstruksi aktif dalam pikiran (Mascolo & Fischer, 2005). Konstruktivisme berarti siswa membangun pengetahuan mereka dengan menghubungkan pengetahuan sekarang dengan pengetahuan yang ada atau sebelumnya. Konstruktivis menekankan peran siswa dalam proses pembelajaran. Dibangun di atas karya Jean Piaget, Lev Vygotsky, dan teori konstruktivis lainnya didasarkan pada premis bahwa individu harus terlibat secara sosial dalam pembelajaran, secara aktif menciptakan pengetahuan dari basis pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman pribadi yang ada (Jena & Behera, 2019). Dari teori konstruktivisme muncul tiga literatur tentang konstruktivisme dan berimplikasi pada lingkungan belajar yaitu: (1) belajar adalah proses aktif, (2) pelajar memiliki pengetahuan sebelumnya, dan (3) pelajar bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri (Yager, 1991; Cobb et al 1992, Magoon, 1977; Hewson & Hewson, 1988).

Berdasarkan pendapatnya di atas, maka dapat di pahami bahwa konsturktivisme merupakan bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memahami apa yang mereka telah pelajari dengan cara menerpakan konsep-konsep yang di ketahuinya kemudian mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat dibuat sebuah kesimpulan yaitu konstruktivisme merupakan sebuah teori yang memberikan keluasan berfikir kepada siswa dan memberikan siswa di tuntut untuk bagaimana mempraktikkan teori yang sudah di ketahuinya dalam kehidupannya.

Konstruktivisme Jean Piaget

Jean Piaget dikenal sebagai salah satu ahli teori pertama dalam konstruktivisme. Teorinya menunjukkan bahwa manusia menciptakan pengetahuan melalui interaksi antara pengalaman dan ide mereka. Pandangannya tentang konstruktivisme menjadi inspirasi bagi konstruktivisme radikal karena gagasannya bahwa individu adalah pusat dari proses penciptaan dan perolehan pengetahuan. Sebagian besar teori Piaget berkembang di mana ia akan menantang gagasan bahwa anak-anak adalah pemikir yang lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Karyanya memberikan bukti bahwa anak-anak secara kognitif tidak kalah dengan orang dewasa. Ia membuktikan bahwa anak-anak berkembang secara berbeda dengan membangun teori yang melibatkan tahapan kognitif (Babakr et.al, 2019).

Konstruktivisme Piaget

Teori kognitif Piaget mengeksplorasi bagaimana anak-anak berkembang. Teorinya membagi perkembangan menjadi empat tahap terpisah. Meskipun Piaget tidak pernah mengaitkan penelitiannya tentang perkembangan kognitif dengan pendidikan secara langsung, Teorinya memainkan peran penting dalam kontribusinya pada teori pembelajaran (Lourenço & Machado, 1996).

Konstruktivisme Lev Vygotsky

Karya Lev Vygotsky mengandung ruang lingkup sentral yang berfokus pada aspek sosial untuk memperoleh pengetahuan. Dia menyarankan bahwa seseorang belajar paling baik melalui interaksi dengan orang lain. Melalui proses bekerja dengan orang lain, pebelajar menciptakan lingkungan makna bersama dengan teman sebayanya. Dengan tenggelam dalam lingkungan baru, pebelajar mampu mengadaptasi interpretasi subyektif untuk diterima secara sosial. Vygotsky secara khusus menekankan bahwa budaya memainkan peran besar dalam perkembangan kognitif. Dia percaya bayi dilahirkan dengan kemampuan dasar untuk berkembang secara kognitif. Kemampuan dasar tersebut kemudian ditingkatkan melalui interaksi dengan orang lain dan akhirnya berkembang menjadi proses mental yang lebih canggih. Misalnya, seorang anak lahir dengan kemampuan dasar menghafal. Saat anak berinteraksi dengan lingkungan dan teman sebayanya, metode mengingatnya beradaptasi. Jika anak berada dalam lingkungan belajar yang menekankan flashcards, anak akan menggunakan metode pengulangan yang serupa untuk meningkatkan daya ingat. Mirip dengan adaptasi Piaget terhadap konstruktivisme radikal dari teori perkembangan kognitifnya, Vygotsky menarik dari teorinya sendiri tentang perkembangan sosial. Vygotsky percaya bahwa pembelajar dapat mencapai tingkat pembelajaran yang jauh lebih tinggi melalui bantuan dari orang Lain (instruktur) yang lebih berpengetahuan (Vasileva & Balyasnikova, 2019).

Konstruktivisme John Dewey

Perspektif John Dewey memadukan fokus Piaget pada aspek kognitif konstruktivisme dengan fokus Vygotsky pada pembelajaran sosial. Susan J. Mayer (2008) memuat sinopsis tempat Dewey dalam konstruktivisme bahwa bertentangan dengan asumsi mereka yang memasangkan Dewey dan Piaget berdasarkan sejarah progresivisme baru-baru ini, Dewey berbagi keprihatinan yang lebih luas dengan Vygotsky (yang karyanya tidak pernah dia baca). Baik Dewey maupun Vygotsky menekankan peran bentuk dan makna budaya dalam melanggengkan bentuk pemikiran manusia yang lebih tinggi, sedangkan Piaget berfokus pada peran yang dimainkan oleh penalaran logis dan matematis. Di sisi lain, dengan Piaget, Dewey menekankan pemeliharaan penalaran independen yang menjadi pusat warisan Protestan liberal yang dimiliki oleh kedua pria tersebut (Mayer, 2008)

Sama seperti Piaget dan Vygotsky yang tidak percaya pada hafalan hafalan dan ceramah berulang, karya Dewey menyatakan bahwa pebelajar yang terlibat dalam aktivitas dunia nyata akan mampu menunjukkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi melalui kreativitas dan kolaborasi. Penekanan Dewey pada pembelajaran yang mempertahankan inkuiri dipicu paling baik dengan memastikan sintesis lingkungan. Banyak guru pada saat itu bersikeras memisahkan sekolah dari kehidupan anak-anak lainnya. Dewey tidak mematuhi hal tersebut. Penelitiannya menegaskan bahwa peserta didik perlu menghubungkan pengalaman kehidupan nyata dengan kegiatan sekolah untuk membuat pembelajaran menjadi nyata (Behling & Hart, 2008).

 

Evaluasi belajar dalam Teori Belajar Konstruktivisme

Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang di dasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang di programkan dan di desain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piaget dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik (Franzoi, S. L, 2011).

Obyektifitas mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat di analisis dan di uraikan, dan pemahaman seseorang akan di hasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata (Sosial environment). Hal ini memiliki tujuan untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan di berikan kepada para siswanya. Dalam Teori Belajar Konstruktivisme ini, pengetahuan yang di miliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, di perlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme mengemukakan bahwa realita ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Teori belajar Konstruktivisme mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya (Construct their own live), struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa.

Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih di arahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan Teori Belajar Konstruktivisme menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak di beri informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar di ketahui sebelum proses belajar di mulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa. Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi Teori Belajar Konstruktivisme. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat di nilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang di gunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Bentuk-bentuk evaluasi dalam Teori Belajar Konstruktivisme dapat di arahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif..

Filsafat/Ideologi/Paradigma Konstruktivisme dengan mengadaptasi dari Tabel Ernest (1995), Marsigit (2015) secara rinci terkait konstruktivisme dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran/Tabel 1).

Tabel 1. Filsafat/Ideologi/Paradigma Constructivsm

 

Contructivism

Politics

Demokrasi, Nasionalisme

Sciences/ Knowledge

Kreatif, Interaktif

Moral value

Justice/Freedom Moral

Theory of Society

Need a reform

Theory of Student

Konstruktif

Theory of Ability

Need, Hermeneutics

Aim of Education

Construct their own live

Theory of Learning

Otonomi Motivasi-intern Konstruktivis

Theory of Teaching

Konstruktivis, Interaktif Hermeneutics

Resources

Social Environment

Evaluation

Portofolio/ Social Context

Diversity

Hetereougonomous

Berdasar uraian dapat di simpulkan bahwa dalam Teori Belajar Konstruktivisme adalah proses belajar yang tidak dapat di pisahkan dari aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern (demokratis). 

6.   PRAKSIS PENILAIAN INOVATIF

a.    SINTAKS PENILAIAN

         Penilaian merupakan suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbanagan tertentu. Definisi dari penilaian juga disampaikan oleh Ralph Tyler yang mengungkapkan bahwa penilaian merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Menurut Griffin dan Nix, penilaian adalah suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan tentang karakteristik seseorang atau sesuatu. Gronlund dan Linn (1973) mendefinisikan tentang sebuah penilaian sebagai suatu proses yang sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis, serta menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, baik aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan.Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah suatu proses pengumpulan informasi secara menyeluruh yang dilakukan secara terus menerus untuk mengetahui kemampuan atau keberhasilan siswa dalam pembelajaran dengan menilai kinerja siswa baik kinerja secara individu maupun dalam kegiatan kelompok. Penilaian itu harus mendapatkan perhatian yang lebih dari seorang guru. Dengan demikian, penilaian tersebut harus dilaksanakan dengan baik, karena penilaian merupakan komponen vital (utama) dari pengembangan diri yang sehat, baik bagi individu maupun bagi organisasi/kelompok.

         Praksis penilaian inovatif adalah hal yang menunjukkan penilaian inovatif yang mampu dan dekat dalam kegidupa sehari-hari. Penilaian inovati memiliki sintaks penilaian yang dsesuikan dengan bentuk penilaian yang dipilih Menurut ideologi dan paradigma penilaian yang disampaikan Marsigit (2014) bahwa ketika akan melaksanakan sebuah penilaian maka hal yang perlu dilakukan adalah mengamati secara betul berbagai obyek tentang hal yang akan diamati. Sintaks penilaian tersebut adalah sebagai berikut:

1.   Praksis penilaian dengan Ideologi Otoritariarizm/Behaviorism/Absolutism/Kapitalism

Politik ternyata memberikan dampak dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam melakukan penilaian pada proses pembelajaran. Berdasarkan Tabel 1/(Lampiran) tentang Fisafat/Ideologi/Paradigma bahwa berbagai macam politik menjadi penentu proses pembelajaran. Proses pembelajaran sebagai penentu proses penilaian. Pendidikan Otoritarianism misalnya memakai politik Konservatif. Hal ini berdampak pada moral yang akan dibangun adalah mengedepankan egosentris.Pada Pendidikan otoriarism siswa masih dianggap seperti gelas yang kosong maka guru dalam proses pembelajarn tugasnya hanya memberikan ilmu (Transfer knowledge)  untuk memenuhi gelas kosong dan mencapai target. Sehingga evaluasi yang digunakan guru sudah pasti evaluasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah karena politik yang digunakan adalah otorianism. Evaluasi ini disebut sebagai eksternal test, yang mana evaluasi yang digunakan cenderung menggunakan soal-soal yang sudah dibuat oleh Lembaga tertentu dan diberikan ke seluruh sekolah atau jenjang, dan tidak memikirkan kemampuan lain yang dimilik oleh siswa. Hasil akhir berupa skor yang mana skor ini lah yang menjadi tolak ukur dalam menentukan kompetensinya.Jika siswa mampu menjawab dengan benar, mendapat skor yang bagus, memenuhi indicator yang ditetapkan oleh pemerintah maka disitulah letak penilaian yang sebenrnya dikatakan tidak inovatif.

 

2.   Praksis penilaian dengan Ideologi Constructivism/Demokratics/Progressive/Scienticism

Proses pembelajaran yang lain misal menggunakan ideologi yang berada di sebelah kanan (Tabel 1/Lampiran) yang mana menggunakan Contructivism, maka sintaks penilaian juga akan ikut berubah. Misalnya politik yang dibangun dalam Pendidikan yang digunakan adalah Demokrasi. Melalui politik demokrasi maka cara pembelajaran dalam menentukan ilmu dan pengetahuan adalah melalui kegiatan yang sifatnya kreatif-interaktif. Dengan cara kreatif ini, maka Pendidikan tidak lagi menganggap siswa itu seperti gelas yang kosong, tapi siswa diberikan kesempatan untuk sebebas-beasnya dalam mengkonstruk pengetahuannya. Kemampuan yang bisa jadi muncul dari siswa bisa berupa ketrampilan dan sikap dan tidak melulu tentang kognitif. Maka penilaian yang patut untuk dilakukan bukan lagi berbentuk soal tes. Tetapi banyak penilaian yang bisa digunakan sebagai bukti kemampuan siswa. Bisa berupa penilaia autentik (penilaian kinerja, proyek) atau penilaian berbasis kelas yang bisa diamati di kelas saat siswa mengkonstruk pengetahuan untuk melihat kemampuan sikap/afektifnya. Tujuan pembelajaranya bukan lagi pada hanya investasi saja tetapi memang mencoba mengkonstruk semua pengalaman dalam hidupnya. Hal ini tentu membuat sistem penilaian yang dilakukan juga akan berproses, tidak tegas hanya pada satu kompetensi saja, dan bisa berkembang sesuai dengan proses kontruksi yang dijalani oleh siswa. Misalkan siswa ingi melakukan kegiatan yang mengasah ketrampilan, maka guru harus mempersiapkan penilaian yang disesuaikan dengan komptensi ketrampilan dan dilakukan melalui penilaian authentic seperti penilaian kinerja/portofolio/proyek. Dengan begitu penilaian ini sifatnya fleksibel menyesuaikan dengan kompetensi apa yang harus diukur. Maka penilaian ini bisa dikatakan penilaian yang inovatif, yang tidak menuntuk siswa hanya paham dan hafal, tapi semua proses belajar mereka konstruk dan dinilai berdasarkan proses yang dijalani.

 

b.   PENILAIAN BERBASIS KELAS

Classroom Bases Assessment (CBA) telah berkembang sepanjang dua lintasan utama yaitu pembangunan teori untuk lebih memahami konseptual dasar (membangun) dan menganalisis bagaimana hal itu diberlakukan di ruang kelas di tingkat pendidikan yang berbeda dan di lokasi dunia yang berbeda. Oleh karena itu, definisi kerja penilaian berbasis kelas kami adalah: Setiap kegiatan kelas yang dipimpin guru dirancang untuk mengetahui kinerja siswa pada tugas-tugas kurikulum yang akan menghasilkan informasi mengenai pemahaman mereka serta kebutuhan mereka (Lewkowicz & Leung, 2021).

Berdasar Tabel 3 (Lampiran) ada berbagai macam pendekatan pembelajaran yang menggunakan penilaian berbasis kelas. Pendekatan pembelajarn tersebut adalah Positive Behavior Support (PBS), Pendekatan Collaborative, dan pendekatan Individually. Pendekatan ini menggunakan penilaian berbasi kelas dengan mempertimbangan proses pembelajarn yang dilakukan dan proses penilaian yang tepat dan ideal. Salah satu bentuk penilaian yang digunakan untuk pembelajaran berbasis kelas ini adalah penilaia diri (Self-assessment) dan penilaian sikap (melalui lembar observasi). Sintaks dalam membuat penilaian tersebut diantaranya adalah:Revs

1.   Menentukan tujuan penilaian

2.   Membuat kisi-kisi penilaian

3.   Mengembangkan instrument dari kisi-kisi penilaian

4.   Uji coba instrument penilaian

5.   Revisi Instrumen

6.   Perakitan instrume kembali

 

c.    ASESMEN DAN PORTOFILIO

Penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Penilaian autentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pebelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan. Menurut Stiggins, penilaian autentik merupakan penilaian kinerja (perfomance) yang meminta pebelajar untuk mendemonstrasikan keterampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan pengetahuan yang dikuasainya.

Wiggins (1998) menyarankan standar penilaian autentik berikut ini. Tugas penilaian adalah autentik bila:

1.   Realistis. Tugas penilaian harus mengikuti dengan cermat cara-cara di mana kemampuan seseorang "diuji" dalam kata sebenarnya. Misalnya, sebagai mantan penari, kami mempraktikkan latihan menari seperti plies, jetes, turns, dan sebagainya di kelas balet. Ini hanyalah latihan. Tugas penilaian realistis akan ditemukan dalam kinerja ballet sebenarnya. Di Ballber Nutcracker Suite, anggaplah pemeran, saya terpaksa menunjukkan apa yang bisa saya lakukan. Ini adalah tes yang realistis, ukuran penilaian yang autentik.

2.   Hal ini membutuhkan penilaian dan inovasi. Disini siswa harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah.

3.   Menilai kemampuan dan keterampilan siswa untuk secara efektif dan efisien menggunakan repertoar banyak keterampilan untuk menyelesaikan masalah atau tugas. Dalam hal mengakses lebih dari sekedar keterampilan verbal atau matematis, penilaian autentik bergantung pada semua kecerdasan yang dapat dikembangkan seseorang.

4.   Memungkinkan banyak kesempatan untuk berlatih, berlatih, berkonsultasi, mendapatkan umpan balik, dan memperbaiki pertunjukan dan produksi aktual. Dengan kata lain, siswa harus belajar sesuatu dan menjadi lebih baik dalam melakukan tugas yang ada.

Penilaian autentik berbeda dari ukuran standar dan alternatif karena mereka berbasis kinerja dan mencakup keputusan dan perilaku nyata dalam profesi dalam sebuah disiplin. Ciri penilaian autentik sebagai hal yang sah karena mereka secara intelektual menantang namun responsif terhadap siswa dan sekolah. Penilaian autentik tidak berfokus pada pengetahuan faktual sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, ini berfokus pada kemampuan untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan proses yang relevan untuk memecahkan masalah terbuka selama tugas yang berarti. Faktor kunci lain yang membedakan penilaian autentik dari yang tradisional adalah bahwa mereka memberi kesempatan kepada siswa untuk mengintegrasikan berbagai jenis pembelajaran (Stiggins, 1987).

 

Penilaian Unjuk Kerja

Penilaian unjuk kerja (performance assessment) sebagai salah satu teknik penilaian jika dibandingkan dengan teknik penilaian paper and pencil memiliki banyak keunggulan. Teknik ini menurut Reynolds (2010) sangat tepat dan telah banyak diaplikasikan dalam berbagai konteks, seperti: 1. Laboratory classes; 2. Mathematics classess; 3. English, foreign-language, debate classes; 4. Social studies classes; 5. Art classes; 6. Physical education classes; dan 7. Music classes. Menurut Van Blerkom (2009) dalam penilaian unjuk kerja (performance assessment) terdapat tiga tipikal karakteristik yang dapat dikelompokkan berdasarkan dimensi, meliputi: (1) menilai proses atau produk; (2) menggunakan simulasi atau kejadian nyata (real settings); dan (3) menggunakan peristiwa alami (natural) atau peristiwa dan situasi yang terstruktur (structured settings).

Selanjutnya ia mengungkapkan pula perbedaan antara penilaian unjuk kerja (performance assessment) dengan teknik penilaian tradisional yang berbasis paper and pencil seperti: (1) Penilaian unjuk kerja lebih mendekatkan pada refleksi kehidupan yang nyata dan lebih dekat kepada aturan dan penerapan pada dunia nyata daripada penilaian tradisional yang masih berbasis penilaian pensil dan tes; (2) Penilaian unjuk kerja melibatkan berbagai bentuk penilaian, dan (3) Penilaian unjuk kerja melibatkan evaluasi yang subjektif dari unjuk kerja yang ditampilkan oleh peserta didik (Reynolds, 2010)

 

Portofolio assessments

Penilaian portofolio memungkinkan guru dan siswa mengumpulkan bukti kemampuan siswa dan skilsl dalam jangka waktu yang lama.Portofolios berisi contoh karya siswa, biasanya dipilih oleh siswa berdasarkan pedoman yang disiapkan oleh guru. Ini adalah pengumpulan informasi yang sangat terarah (Chase, 2006). Selanjutnya, portofolios berfokus pada pencapaian siswa, dengan penekanan khusus pada pekerjaan terbaik mereka atau pertumbuhan selama periode waktu tertentu. Gagasan portofolio adalah untuk memamerkan jenis barang di mana siswa unggul, bukan untuk menunjukkan halhal yang tidak dapat mereka lakukan. Selain itu, fokusnya adalah pada penilaian produk, bukan proses (Oosterhof, 2003).

Berdasar Tabel 3 (Lampiran) ada berbagai macam pendekatan pembelajaran yang menggunakan penilaian otentik (Authentic Assessment). Pendekatan pembelajarn tersebut adalah Pendekatan STEAM, Inquiry, Pjbl, Brunner, Scientific, Montessori, Collaborative, Challenges, Inclussive, Joyfull Learning, Authentics, Lab Practice. Pendekatan ini menggunakan penilaian otentik dengan mempertimbangan proses pembelajarn yang dilakukan dan proses penilaian yang tepat dan ideal. Salah satu bentuk penilaian yang digunaan adalah berupa penilaian kinerja (performance assessment) dan portofolio. Peniaian ini berbentuk lembar observasi untuk menilai kinerja ataupun proyek, tugas, produk yang dilakukan oleh siswa pada saat proses pembelajaran kimia pada jenjenag SD.

Penilaian portofolio memiliki lima tahap yaitu: (Davis & Ponnamperuma, 2005)

1. Pengumpulan bukti pencapaian pembelajaran hasil

2. Refleksi pembelajaran

3. Evaluasi bukti

4. Pertahanan bukti

5. Keputusan penilaian

Penilaian portofolio harus difokuskan pada hasil belajar kurikulum. Daya tarik portofolio adalah kemampuannya termasuk bukti pencapaian semua hasil belajar datang selama proses pembelajaran. Penilaian portofolio sering digunakan karena ada beberpa alasan yaitu penilaian portofolio mampu menilai kinerja dan hasil secara professional (Davis et al, 2001). 

Link download lebih lengkap: https://bit.ly/3CoJvqv


Referensi

 

Bennett, R. E. (1997), Reinventing assessment: Speculations on the future of large-scale educational testing. ETS.

Bennet, J., Dunlop, L., Knox, K.J., & Whitehouse, M. (2017). The assessment of chemistry subject knowledge in secondary education: a critical evaluation of the literature. University of York.

Bailey, K. M. (1998). Learning about language assessment: dilemmas, decisionjs, and directions. Heinle & Heinle: US.

Callahan, J., & Clark, L.H. Foundations of Education Planning for Competence. New Jersey: Prentice Hall

Chase, Richard, B., Aquilano, Nicholas, J. and Jacobs, F. Robert. (2006). Operations Management for Competitive Advantage. 11th edition, McGraw-Hill Irwin, Boston.

Davies, D., Snape, D.J., Collier, C., Digby, R., Hay, P., & Howe, A. (2013). Creative learning environments in education- A systematic literature review. Thinking Skills and Creativity 8 (2013) 80– 91.

Dikli, S. (2003). Assessment at a distance: Traditional vs. Alternative Assessments. The Turkish Online Journal of Educational Technology, volume 2 Issue 3 Article 2.

Fine, G.A., & Snadstorm, K. (1993). Ideology in Action: A Pragmatic Approach to a Contested. Sociological Theory, Vol. 11, No. 1 (Mar., 1993), pp. 21

Garfield J.B. (1994). Beyond Testing and Grading: Using Assessment To Improve Student Learning. Journal of Statistics Education, 2:1.

Gronlund, N. E. (1973). Preparing Criterion Referenced Test for Classroom Instruction. New York: The Macmillan Publishing Company.

Handel, M., Lockl, K., Heydrich, S.W., & Artelt. (2014). Assessment of metacognitive knowledge in students with special educational needs. Metacognition and Learning, 9(3),333–352.

DOI: 10.1007/s11409-014-9119-x

Kalyani, D* & Rajasekaran, K. (2018). Innovative teaching and learning. Journal of Applied and Advanced Research, 2018: 3(Suppl. 1) S23-S25. 

https://dx.doi.org/10.21839/jaar.2018.v3S1.162Shohamy, E. 2001: The power of tests: a critical perspective on the uses of language tests. London: Longman . Google Scholar.

Maranan, V.M. (2017). Basic Process Skills and Attitude Toward Science: Inputs To An Enhanced Students’ Cognitive Performance: Laguna State Polytechnic University.

Marsigit. (2013). Pergulatan Memperebutkan Filsafat, Ideologi dan Paradigma: Sebuah Kesadaran untuk Lembaga Pendidikan Ke Islaman dalam rangka ikut Membangun Karakter Bangsa (Melalui KKNI dan Kurikulum 2013), Makalah yang dipresentasikan dalam seminar dan Workshop pada tanggal 13 dan 14 September 2013.

Marsigit. (2014). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinajuan Filsafat, Politik dan Ideoligi Pendidikan, Makalah yang dipresentasikan pada Rapat Majelis Guru Besar UNY pada tanggal 23 Juni 2014.

McMillan, J. H. (2001). Classroom assessment. Principles and Practice for Effective Instruction. Boston: Ed Allyn and Bacon.

Mascolo, M. F., & Fischer, K. W. (2005). Constructivist theories. Cambridge Encyclopedia of Child Development (pp. 49-63). Cambridge, England: Cambridge University Press.

Mayer, S. J. (2008). Dewey's dynamic integration of Vygotsky and Piaget. Education and Culture, 24(2), 6-24

McMillan, J.H. and Schumacher, S. (2001) Research in Education. A Conceptual Introduction. 5th Edition, Longman, Boston.

Noddings, Nel (1995). Philosophy of Education. Boulder, CO: Westview Press

Oosterhof, A. (2003). Developing and Using Classroom Assessment. New York: R.R Donnelley & Company 3rd Edition.

Reynolds, C.R. add.all. (2010). Measurement and Assessment in Education. USA: Pearson Education LTD.

Shank er, U. (2007). Philosophy of Education for Modern India. New Delhi: Pergamon Press

Shymansky, J. (1992). Using Constructivist Ideas to Teach Csience Teachers About Constructivist Ideas, or Teacher Are Students Tool. Journal of Science Teacher Education. 3 (2), 53-57.

Simonson M., Smaldino, S, Albright, M. and Zvacek, S. (2000). Assessment for distance education (ch 11). Teaching and Learning at a Distance: Foundations of Distance Education. Upper Saddle River, NJ:Prentice-Hall.

Stiggin, R.J. (1994). Student Centered Classroom Assessment. New York: Mac Millan College Publishing Company.

Tacoshi, M.M.A., & Fernandez, C. (2014). Knowledge Of Assessment: An Important Component in The Pck of Chemistry Teachers. Problems of education in the 21st century Vol.62.

Vasileva, O., & Balyasnikova, N. (2019). (Re)Introducing Vygotsky’s Thought: From Historical Overview to Contemporary Psychology. Contemporary Psychology. Front. Psychol. 10:1515. doi: 10.3389/fpsyg.2019.01515

Warnes, E. D., Sheridan, S. M., Geske, J., & Warnes, W. A. (2005). A contextual approach to the assessment of social skills: Identifying meaningful behaviors for social competence. Psychology in the Schools, 42(2), 173–187.

https://doi.org/10.1002/pits.20052.

Wiggins, G. P., (1993). Assessing Student Performance: Exploring the Limits and Purpose of Testing. San Francisco: Jossey-Bass Publishers

Yambi, T.D.A.C. (2018). Assessment and Evaluation in Education. https://www.researchgate.net/publication/342918149

Yager, R.E. (1991). The Constructivist Learning Model.” The Science Teacher, 58(6), pp: 53-57.

 

 

 

 

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mindmap Filsafat Pendidikan Kimia