Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
POTRET DAN HARAPAN
PENILAIAN PENDIDIKAN
Tinjauan Filsafat,
Ideologi, Paradigma Penilaian Pendidikan
Widinda Normalia Arlianty
Universitas Negeri
Yogyakarta
widinda0140pasca.2022@student.uny.ac.id
ABSTRAK
Penilaian Pendidikan dapat dijabarkan dan
ditinjau dari tiga hal yaitu filsafat, ideologi dan paradigma. Penilaian adalah
sebuah kegiatan yang dilakukan guna untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
melihat tercapaianya pemahaman. Penilaian Pendidikan sangat bergantung terhadap
proses pembelajaran yang dilaknsanakan. Menurut ideologi Pendidikan, penilaian
Pendidikan ada penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal
seperti penilaian sumatif dan formatif yang dipengaruhi oleh adanya politik.
Sementara penilaian internal merupakan penilaian yang berbasis goal-free. Penilaian berbasis goal-free diantaranya seperti
Classroom Based Test dan Authentic
assessment (Portofolio, proyek, kinerja/performa). Jenis
penilaian ini bisa dikatakan inovatif jika penggunaannya juga disesuaikan
dengan pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan dengan mempertimbangkan
ideologi, filsafat dan paradigma penilaian. Berdasarkan literatur bahwa model
pembelajaran yang cocok menggunakan penilaian authentic dalam pembelajaran
kimia adalah STEAM, Inquiry, PjBL,
Brunner, Scientific, Montessori, Collaborative, Challenges, Inclussive, Joyfull
Learning, Authentic, Lab Practice. Sementara Model pembelajaran yang cocok
menggunakan Classroom Based Assessment dalam pembelajaran adalah Positive
Behavior Support (PBS), Pendekatan Collaborative, dan pendekatan Individually.
Kata kunci: penilaian
kimia, filsafat penilaian, ideologi penilaian.
1.
PENDAHULUAN
Saat ini
dunia pendidikan bergerak menuju persaingan. Rakyat berjuang untuk belajar, dan
bekerja keras untuk menciptakan pembelajaran baru lingkungan. Tujuan pendidikan
bukan hanya mengajar buku teks dan membuat siswa mengerti tetapi juga
menambahkan pemikiran inovatif, kreatif dan swasembada. Itu sebabnya institusi
harus menyertakan metode yang inovatif melalui komunikasi yang baik supaya
berdampak pada pengetahuan yang baik. Dalam menemukan metode pengajaran yang
inovatif adalah keterampilan yang sangat penting. Beberapa penelitian banyak
membuktikan bahwa metode dan pendekatan tertentu bisa benar-benar meningkatkan
keterampilan belajar. Beberapa metode inovatif pengajaran bisa menjadi
kombinasi dari berbagai media digital jenis seperti teks, gambar, audio dan
video, menjadi satu kesatuan yang disebut aplikasi atau presentasi interaktif
multi-indera untuk disampaikan informasi kepada khalayak (Burn, 1996).
Dalam pendidikan, keterlibatan mahasiswa
terhadap pada pembelajaran ditunjukkan melalui perhatian, rasa ingin tahu,
minat, optimisme, dan semangat yang pada saat sedang belajar atau diajar, dan
nantinya akan meningkat ke tingkat motivasi yang mereka miliki untuk belajar
dan maju dalam pendidikan mereka. Ketika siswa terlibat dengan pembelajaran
yang diajarkan, mereka belajar lebih banyak dan mempertahankan lebih banyak.
Siswa yang berlajar lebih bermakna dan mendalam cenderung lebih bertahan dan
menikmati arti belajar. Oleh karena itu tugas guru adalah membuat siswa di
kelas tertarik terhadap pembelajaran yang kita berikan (Yager, 1991).
Pengajaran
inovatif berarti kreativitas dan kebaruan guru yang mengubah gaya dan metode
mengajar. Semua seluruh dunia, lembaga pendidikan menerapkan baru ide, metode,
inovasi berbasis teknologi untuk meningkatkan pengetahuan siswa. Pengajaran
inovatif diperlukan untuk masa kini dan masa depan pendidikan untuk membantu
siswa mencapai potensi penuh mereka. Pendidikan tinggi harus melayani kebutuhan
intelektual siswa dalam jangka panjang, misalnya, apakah menyediakan materi
baru oleh guru membantu siswa memperoleh wawasan baru atau membuka saluran baru
stimulasi intelektual atau meningkatkan daya berpikir penting dan kreatif
siswa? Pengajaran yang inovatif adalah kebutuhan bagi semua orang guru dalam
rangka memenuhi kebutuhan pendidikan yang baru. Namun, kompetensi guru untuk
pengajaran inovatif merupakan faktor kunci yang mempengaruhi kinerja pengajaran
inovatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak guru tidak memiliki
kompetensi untuk mengajar inovatif (Kalyani & Rajasekaran, 2018).
Praktik
pengajaran tentunya tidak akan terlepas dengan peniliana. Pembelajaran selalu
saja dikaitkan dengan hasil penilaian yang didapatkan. Jika hasil penilaian
yang didapat tidak sesuai dengan harapan, maka seringkali siswa dianggap tidak
mampu secara kognitif memahami materi ajar. Padahal konteks seperti ini
tidaklah selalu benar. Seharusnya kemampuan siswa tidak boleh dijustifikasi
hanya karena penilaian yang didapatkan tidak sesuai dengan kriteri yang
diharapkan. Begitulah manusia, manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari
kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu
mencari kebenaran yang sesungguhnya, salah satu jalan yang ditempuh adalah
dengan bertanya. Namun, setiap jawaban belum tentu diterima begitu saja, karena
ia harus mengujinya dengan metode tertentu yang diketahuinya. Perkembangan
pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia
berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan
manusia berdialektika untuk terus mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori
yang sudah ada atau menemukan teori baru dengan runtuhnya teori lama. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat
ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya (Harrison
dkk, 2016).
Untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir
filosofis dalam menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadikan
filsafat harus dipelajari. Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait
dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam
kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan
bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi, bukan asal bertindak
sabagaimana yang biasa dilakukan manusia. Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai
dengan jalan biasa, memerlukan langkah-langkah tertenu, khusus, istimewa.
Beberapa langkah menuju kearah kebijaksanaan itu antara lain: 1) membiasakan
diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini
sangat kita junjung tinggi, 2) Berusaha untuk memadukan (sintesis) hasil
bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusian, sehingga menjadi pandangan yang
konsisten tentang alam semesta beserta isinya, 3) mempelajari dan mencermati
jalan pemikiran para filsuf dan meletakkannya sebagai pisau analisis untuk
memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan konkrit, sejauh
pemikiran itu memang relevan dengan situasi yang kita hadapi, 4) menelusuri
hikmah yang terkandung dalam ajaran agama, sebab agama merupakan sumber
kebijaksanaan hidup manusia (Shank, 2007).
Pengetahuan merupakan hasil
dari pengindraan, pengalaman dan sintesa antara keduanya. Bagaimanapun, itu
semua terjadi secara simultan dan berkelanjutan, senantiasa selalu berproses
dan tak pernah berhenti. Penilaian adalah barometer pengetahuan yang mana
seharusnya bersifat dinamis, karena nilai harus benar-benar merefleksikan
pengetahuan yang terus berproses, bukan pengetahuan yang sementara namun
berlaku untuk selamanya (Noddings, 1995). Salah satu tugas sebagai pendidik
adalah melakukan penilaian hingga memberikan hasil dalam bentuk nilai bisa
berupa angka maupun huruf. Tanpa disadari penilaian ini sangat berpengaruh pada
peserta didik. Nilai bisa memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif
adalah saat peserta didik mendapat nilai dengan predikat yang dianggap “Bagus”
atau “Lulus” atau “Kompeten” maka tentu akan membangkitkan motivasi. Tapi tentu
sebaliknya, jika peserta didik mendapat nilai dengan predikat “Tidak Kompeten”
atau “Tidak Lulus” atau “Tidak memenuhi target” maka justru akan berdampak
negatif yang akan menghancurkan motivasi peserta didik dalam belajar. Begitu
besar makna simbol, kata, kalimat bahkan angka yang menggambarkan penilaian
terhadap keberhasilan belajar peserta didik yang tentunya akan membekas secara
permanen dan membuat peserta didik mampu memotret kemampaun dirinya sendiri
berdasar penilaian tersebut, padahal perlu untuk dipertanyakan “apakah proses
penilaian yang dilakukan sudah benar dan tepat tujuan atau hanya mengikuti
aturan Pendidikan yang ada?”. Sementara pengetahuan akan selalu berproses,
berkembang, berjalan, mengapa penilaian selalu sering dianggap permanen dan
harga mati dalam memotret kemampuan peserta didik. Maka sebagai pendidik, perlu
untuk memahami secara jelas filsafat, ideologi, paradigma hingga penerapan
penilaian yang tepat supaya penilaian ini tidak menghancurkan motivasi peserta
didik sebagai tombak masa depan negara.
2. FILSAFAT PENILAIAN
Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah
olah pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya,
pikiran secara simtomatik merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan
waktunya. Immanuel Kant (1671) menyatakan “jika
engkau ingin mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri, karena dunia
itu sama persis dengan apa yang sedang engkau pikirkan”. Implikasi dari
pendapat di atas adalah bahwa segala macam Filsafat dan Aliran Filsafat sangat
mungkin bukan di sana, melainkan dia ada sangat dekat dengan kita, yaitu
pikiran kita sendiri. Filsafat memiliki beberapa aliran diantaranya Filsafat
yang sifatnya tradisional jika dilihat dari obyek yang diamati diantaranya
adalah Filsafat Otoritarianisme, Filsafat Absolutisisme, Fislafat Behaviorism,
Filsafat Kapitalisme, Filsafat Sosialis, Filsafat Pragmatis, Filsafat Materialis,
filsafat Utilitarianism. Sementara Filsafat yang sifatnya lebih inovatif
diantaranya dalah Filsafat Scientism, Filsafat Demokratisisme, Filsafat
Progressive, Filsafat Construktivism, Filsafat Cognitivism, dan Bahan Filsafat
yang bersifat fakultatif adalah Filsafat Hermeneutics. Sifat tetap dan berubah dari
objek filsafat mampu membawa dampak pada potensi yang baik maupun buruk.
Misalnya saja: Filsafat Otoritarianism jika secara moral sifatnya egosentris
maka menjadi potensi yang buruk dan memerlukan filsafat yang lain untuk
membantu menyeimbangkan supaya menjadi potensi yang baik. Filsafat penilaian
juga tentu berpengaruh jika objek Filsafatnya adalah Filsafat Otoritarianisme, Filsafat
Absolutisisme, Fislafat Behaviorism Filsafat kapitalisme, Filsafat Sosialis,
Filsafat Pragmatis, Filsafat Materialis, filsafat Utilitarianism menjadi dasar
dalam Pendidikan yang dijalani (Marsigit, 2014).
Pendidikan yang akan dijalani di negara kita bergantung
pada pola pikir kita, bagaiamana cara kita berfilsafat. Jika bisa dirasakan, Pendidikan
di negara Indonesia masihlah tertanam secara mendalam Pendidikan kapitalisme.
Tanpa sadar kita sudah memulai kehidupan dengan terkotak-kotak dalam banyak
hal. Misalkan saja Pendidikan yang berkualitas sering kali hanya bisa dinikmati
oleh sekelompok orang dengan kemampuan menengah ke atas. Sementara orang yang
memiliki kemampuan menengah ke bawah sulit mengakses secara mudah Pendidikan
berkualitas yag seharusnya bisa diterima untuk semua kalangan. Selain itu
secara tidak sadar pula penyelenggaraan Pendidikan diciptakan
berkluster-kluster dengan dalih untuk meningkatkan kualitas hingga muncul
sekolah-sekolah dengan kurikulum bertaraf internasioanl dengan biaya
berkelas-kelas juga. Selain dari kondisi Pendidikan, secara specifik juga bisa
dilihat, misalkan saja di dalam Filsafat Otoritarianisme, moral yang dibentuk
adalah egosentrisisme yang mana artinya perhatian
yang berlebihan pada diri sendiri dan berfokus untuk kesejahteraan atau
keuntungan sendiri dengan mengorbankan atau mengabaikan orang lain. Jika moral
Pendidikan yang dimiliki sudah didasari oleh filsafat egosentrisisme maka tentu
obyek filsafat yang lain akan mengikuti seperti pada obyek penilaian Filsafat
otoritarianisme
Obyek penilaian Filsafat otoritarianisme,
filsafat penilaian yang dilakukan berbentuk Egosentrisisme-Eksternal. Hal ini
menunjukkan yang mana semua penilaian yang dilakukan dalam bidang Pendidikan,
diatur oleh orang yang berkuasa, diatur oleh kepentingan satu orang dan proses
penilaian yang dilakukan dikembangkan oleh badan atau Lembaga di luar sekolah
(Eksternal). Penilaian Pendidikan yang seperti ini rentan membawa dampak yang
buruk. Proses Pendidikan yang dijalani belum memiliki dasar filsafat Pendidikan
yang tepat supaya penilaian yang dilaksanakan juga tepat. Seharusnya jika kita
mampu berolah pikir, mampu berfilsafat dengan benar, harapan terhadap proses
Pendidikan yang ada di Indonesia diarahkan kepada Pendidikan yang memiliki filsafat
yang inovatif seperti Filsafat
Scientism, Filsafat Demokratisisme, Filsafat Progressive, Filsafat
Construktivism, Filsafat Cognitivism dan Filsafat Hermeneutics, yang mana sangat menjunjung tinggi moral. Guru dalam
Pendidikan diberikan kebebasan untuk kreatif-interaktif dalam menyediakan
sumber-sumber belajar. Tugas siswa adalah mengkonstruk secara bebas bertanggung
jawab proses pembelajaran yang dilaksanakan. Jika proses pembelajaran yang
dilaksanakan secara demokratis, maka penilaiapun juga akan sangat bervariasi,
menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, fleksibel, lebih luwes, tidak
mematahkan motivasi siswa karena semua kemampuan siswa bisa teramati (Davies, dkk, 2013).
Penilaian juga tidak hanya pada
kemampuan kognitif yang mana proses penilaianya terstandar harus menggunakan
milik pemerintah, tetapi jika menggunakan filsafat demokratis kemampuan siswa
dalam ranah pengethaun, sikap, ketrampilan maupun kemampuan lainya dapat
teramati dan diakui. Sejatinya memang setiap individu tidak selalu memiliki kemampuan
yang sama, itulah sebabnya perlu untuk memahami dengan benar filsafat
Pendidikan dan penilaian yang akan dijadikan sebagai landasan membawa masa depan yang lebih bijaksana
(Shohamy, 2001).
3. IDEOLOGI PENILAIAN
Pada dasarnya, manusia sebagai
makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ideologi. Ideologi merupakan aspek
internal yang melekat dalam diri manusia. Segala tindakan, sikap, dan pemikiran
yang dimilikinya pasti dipengaruhi oleh ideologi yang diterimanya. Bahkan,
ketika berpikir tidak terpengaruh oleh suatu pemahaman, manusia baru saja
menunjukkan bahwa dirinya memiliki ideologi tertentu. Ideologi disebarkan
dengan cara melibatkan berbagai lembaga, seperti media massa, sekolah, atau
lingkungan sekitar. Selain menjadi dasar pemikiran internal manusia, ideologi
juga digunakan untuk menyikapi hal eksternal. Ideologi berfungsi sebagai dasar
penciptaan ruang mobilisasi manusia dan mengorganisasikan massa. Ideologi
dapat menjadi standar yang secara tidak langsung memengaruhi segala penilaian,
sikap, dan tindakan seseorang terhadap hal eksternal. Misalnya saja mereka yang
memiliki anggapan bahwa musik adalah haram, maka akan menilai segala bentuk
musik merupakan hal yang haram (Fine & Sandstrom,
2013).
Pendidikan tidak sekedar hanya dipandang
sebagai wadah untuk mestimulasi potensi anak agar berkembang kearah yang lebih
baik, namun pendidikan harus dipandang lebih jauh dari yaitu memanusiakan
manusia. Bangsa
yang tangguh adalah bangsa yang mampu secara dinamis dan kreatif menembus ruang
dan waktu. Ideologi merupakan bentuk operasionalisasi Filsafat. Ideologi
sebagai bentuk operasionalisasi Filsafat sehingga Ideologi adalah Filsafat yang
dioperasionalkan. Ideologi bersifat plural dan kontekstual dan merupakan cara
untuk memeroleh keadaan yang di Ideal kan (Marsigit, 2014). Dengan demikian
ideologi suatu negara menjadi hal penting untuk dipikirkan, supaya membawa
orang dan bangsa ini mampu berpikir ke arah kemajuan. Ideologi bermacam-macam
misalnya Ideologi Kapitalisme, Ideologi Pragmatisme, Ideologi Utilitarianisme,
Ideologi Saintisisme, Ideologi Kapitalis. Semua ideologi tersebut dapat
sekaligus merefleksikan filsafatnya.
Pendidikan memerlukan landasarn yang jelas
untuk membawa bangsa kepada kemajuan. Ideologi Pendidikan menurut Marsigit
(2015) yang diadaptasi dari Paul Ernest (1995) terdapat 5 aliran ideologi
Pendidikan diantaranya: 1) Industrial trainer; 2) Tecchnological Pragmatism;
3) Old Humaism; 4) Progressive Educator; dan 5) Public Educator. Secara
lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Filsafat, Ideologi dan Paradigma Dunia (Sumber: Marsigit adaptasi Ernest, 2014)
Dari kelima aliran di atas dapat dipelajari
lebih dalam bahwa kelima aliran diatas menunjukkan ideologi bisa digunakan
sebagai dasar penilian. Poin-poin yang perlu kita fokuskan adalah obyek
evaluasi. Dalam obyek evaluasi pada masing-masing aliran menunjukkan bahwa
semakin ke kiri bentuk penilaian yang digunakan adalah eksternal tes. Hal ini
terjadi pada ideologi aliran industrial trainer, technological Pragmatism, dan
Old Humanism. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa eksternal tes merupakan
suatu proses dan metode penilaian yang dikembangkan dan digunakan oleh badan
atau lembaga pemeriksaan selain sekolah peserta didik. Saat hasil
pekerjaan siswa dinilai secara eksternal, artinya bahwa penilaian tersebut
dilakukan di luar sekolah. Penilaian eksternal dimaksudkan untuk menilai
pencapaian dalam suatu mata pelajaran berdasarkan silabus yang ditetapkan atau
ditandai oleh pihak eksternal yang berwenang terhadap sekolah dan pelaksanaan
program, menggunakan standar dan soal yang sama untuk sekolah-sekolah. (Yambi,
2020). Salah satu contoh bentuk eksternal tes adalah Ujian Nasional (UN).
Penilaian seperti ini membuat standar tertentu yang harus dicapai oleh siswa,
sementara siswa yang tidak mencapai hal tersebut maka tentu dinilai sebagai
siswa yang belum kompeten. Secara praktis siswa akan tunduk dan berusaha segala
cara untuk mencapai standar penilaian yang telah ditetapkan oleh penguasa. Hal
ini menyebabkan siswa terjebak dan tidak mampu mengembangkan kemampuan yang
dimili. Alih-alih mendapatkan ilmu yang bermakna, kreatif saja pun akan susah
untuk dilaksanakan. Maka tentu harapan Pendidikan itu seharusnya didasari pada
aliran sebelah kanan (Gambar 1) yaitu progressive educator dan Public
Educator. Dua aliran ini sebenarnya harapan bagi semua orang karena bisa
dijadikan landasan ideologi yang tepat dan ideal. Bentuk penilaian yang
digunakan juga lebih fleksibel seperti: Penilaian portofolio dan sosial
konteks.
Penilaian portofolio merupakan teknik
penilaian yang dilakukan dengan cara menilai kumpulan hasil karya, tugas,
prestasi akademik maupun non akademik yang dihasilkan oleh siswa selama
mengikuti proses pembelajaran. Pada dasarnya, penilaian portofolio ini
dilakukan untuk memberikan gambaran minat, bakat, kreativitas, daya serap dan
perkembangan siswa selama mengikuti pembelajaran pada periode tertentu
(misalnya satu semester) McMillan (2001). Penilaian konteks didefinisikan
sebagai latihan dalam pengumpulan dan analisis informasi yang dimaksudkan
untuk meningkatkan pemahaman tentang penyelidikan tertentu dalam jangka waktu
tertentu. Pendekatan kontekstual sangat penting untuk menentukan jenis
keterampilan sosial yang bermakna dalam interaksi sosial anak. Melalui penilaian
kontekstual, seorang penilai dapat memahami keterampilan sosial, tidak hanya
harus perilaku dan perspektif seorang anak yang di diperiksa atau dinilai,
tetapi tanggapan dan harapan sosial dari lingkungan di mana anak itu
berinteraksi juga harus diperhitungkan (Warnes et al., 2005). Melalui dua
bentuk penilaian ini diharapkan siswa semamkin mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Siswa diberikan kebebasan mengeksplore banyak hal,
diberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan, diberikan kesempatan untuk
mengasah kemampun selain kognitif (keterampilan dan sikap). Evaluasi seperti
ini sangat membantu siswa untuk menerima berbagai perbedaan. Siswa tidak
terkotak-kotak hanya karena kemampuan akdemis saja, tetapi siswa bisa diterima
dengan berbagai kelebihan meskipun bukan secara akademik saja. Siswa diberikan
kesempatan mengkonstruk mater ajar dari berbagai sumber, bukan seperti gelas
kosong yang hanya akan dituang materi/ilmu oleh pendidik. Siswa akan terbiasa
mencari tahu dari lingkungan berbagai macam dari hal ketidak tahuannya karena
siswa merasa “butuh” untu tahu, bukan hanya siswa diam dan menerima saja.
1.
PARADIGMA DAN
TEORI PENILAIAN
Sistem pendidikan di Indonesia telah berkembang
selama tiga tahun terakhir dan menghasilkan banyak kemajuan di beberapa aspek.
Salah satunya adalah perubahan paradigma mengenai sistem penilaian. Namun
perubahan yang terjadi tidak serta merta mampu mengubah konsepsi seputar
penilaian pendidikan. Penilaian tidak hanya memiliki peran
dalam pembelajaran, namun merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri. Oleh
karena itu, sangat penting bagi kita memahami manfaat dan tujuan dari setiap
penilaia.
Tenaga pendidikan di Indonesia masih memiliki
pandangan yang menganggap bahwa penilaian adalah tes dan hasil pembelajaran
adalah nilai/skor. Padahal, sejatinya miskonsepsi ini justru akan menghambat
proses belajar dan pengembangan kemampuan siswa secara optimal. Diantara begitu
banyaknya macam metode penilaian yang diciptakan, tenaga pendidik dituntut
untuk cermat dalam menentukan sistem penilaian yang tepat. Fokus dan capaian
pembelajaran yang seharusnya bertumpu pada pembentukan keterampilan dan penguasaan
pengetahuan setiap anak didik justru memberatkan pada capaian nilai akhir
semata. Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan bergantung sebagian besar pada
praktek penilaian dan pemeriksaan yang sesuai. Pengembangan keterampilan dan
pengetahuan anak yang mengedepankan proses dan penguasaan pemahaman kini telah
menjadi perhatian dan prioritas. Pemahaman mengenai sistem penilaian yang tepat
dan sesuai merupakan salah satu langkah demi terciptanya perubahan positif
dalam lingkup sistem penilaian di masa depan (Garfield, 1994).
Kondisi Nyata Penilaian Hasil Belajar Kimia
Saat Ini
Penilaian sangat penting dalam proses
belajar mengajar. Dalam pengajaran kimia, para penyebaran penilaian untuk
memastikan tingkat asimilasi dan pemahaman konsep yang diajarkan di kelas
dianggap sentral dalam proses pembelajaran. Melalui penilaian, guru memeriksa
pemahaman siswa dan mendapatkan umpan balik yang berharga yaitu hasil belajar
siswa. Hasil belajar ini digunakan untuk memodifikasi dan meningkatkan
instruksi cara belajar beserta penilaian yang digunakan. Namun, tatanan
Pendidikan dunia berubah drastis akibat darurat COVID-19 yang mempengaruhi cara
penyampaian Pendidikan. Satu-satunya pilihan untuk menyampaikan proses
pembelajaran dan penilaian adalah melalui penyebaran teknologi untuk dapat
bertemu tuntutan pandemi dan protocol. Informasi dan Komunikasi Teknologi (TIK)
mempengaruhi setiap aspek kehidupan, termasuk Pendidikan. Guru kimia harus
menggunakan alat TIK yang relevan untuk memantau kemajuan akademik siswa dan
memberikan umpan balik efektif berbasis TIK untuk penilaian pembelajaran kimia.
Akibatnya, TIK harus dikerahkan untuk membantu guru kimia dalam melaksanakan
penilaian untuk pembelajara, mendiagnosa pemahaman dan kesulitan peserta didik
selama proses pengajaran (Opateye & Ewim, 2021). Penilaian hasil belajar kimia
yang dilakukan di sekolah-sekolah saat ini, masih didominasi oleh asesemen
produk yang dilakukan dalam bentuk tes. Tes yang digunakan didominasi oleh
bentuk tes pilihan ganda yang menyediakan alternatif jawaban dari soal-soal
yang diberikan (Bennet dkk, 2017). Selain itu, asesmen, umumnya, dilakukan
secara periodik dalam bentuk ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir
semester (UAS). Penilain proses, secara umum, sudah dilakukan namun, proses
pelaksanaan dan intrumen yang digunakan belum baik dan terkesan dilakukan untuk
memenuhi tuntutan kurikulum.
Apabila dilihat lebih dalam, tes pilihan
ganda yang digunakan untuk menilai capaian hasil belajar siswa, maka ditemukan
bahwa isinya lebih banyak menyangkut pengetahuan faktual dan konseptual,
sedangkan jenis pengetahuan prosedural dan metakognitif sangat kurang. Tes
pengetahuan faktual cenderung menggiring siswa untuk menghapalkan fakta-fakta
secara diskrit tanpa disertai dengan kemampuan membangun hubungan antar fakta-fakta
yang ada (Bailey, 1998; Simonson 2000). Secara teoretis, pengetahuan faktual
yang tidak disertai dengan pemahaman terhadap hubungan antara fakta yang satu
dengan fakta lainnya tidak akan bertahan lama dalam ingatan siswa dan cenderung
mudah dilupakan. Sebagai akibatnya, mereka akan selalu mulai dari awal ketika
mempelajari hal-hal yang sebenarnya berkaitan erat dengan pelajaran sebelumnya.
Demikian pula halnya dengan tes yang mengandung pengetahuan konseptual.
Pengetahuan konseptual hanya menyasar pada pengetahuan tentang wujud sebuah
konsep (definisi). Apabila difinisi hanya dihapalkan, maka definisi yang
dipelajari tidak akan membantu mereka untuk menggunakan definisi tersebut dalam
mengurai suatu persoalan yang sesungguhnya ada (Simonson 2000; Dikli, 2003).
Rendahnya proporsi pengetahuan
prosedural dan metakognitif dalam tes, berdampak pada rendahnya kemampuan
penalaran siswa karena mereka tidak terlatihkan untuk mengembangkan
penalarannya untuk menilai prosedur dan mengembangkan prosedur, misalnya, untuk
memecahkan masalah. Asesmen tentang pengetahuan prosedural dan metakognitif
tidak mampu sepenuhnya diakomudasi oleh bentuk-bentuk tes pilihan ganda. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan asesmen yang menggunakan tes uraian atau esai. Pentingnya
metakognisi ditunjukkan oleh hubungannya dengan ukuran kemampuan dan prestasi (van Kraayenoord dan Schneider 1999; Pressley et al.1989).
Siswa yang mengatur sendiri belajarnya atau memiliki pengetahuan
metakognitif yang lebih canggih lebih baik di sekolah daripada rekan-rekan
mereka dengan perilaku belajar metakognitif pengetahuan kurang (Handel et al,
2014).
Walaupun guru dalam keseharian
menemani siswa belajar di kelas, namun penilaian guru terhadap hasil belajar
siswa, secara dominan, diambil dari asesmen yang dilakukan secara periodik (UTS
dan UAS). Kemajuan siswa dalam belajar yang menyangkut ranah sikap dan
keterampilan yang ditunjukkan selama proses pembelajaran kurang mendapat
perhatian dalam penilaian akhir hasil belajar siswa, kalaupun itu ada, hal
tersebut belum dilakukan dengan dukungan catatan fakta-fakta kemajuan belajar
siswa. Hal tersebut dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
proses belajar yang semestinya dilakukan secara berkelanjutan dilakukan secara
berkala (periodik). Sebagai akibatnya, siswa baru akan belajar menjelang UTS
atau UAS (Maranan, 2017).
Penilaian hasil belajar yang dilakukan dalam rangka implementasi Kurikulum 2013
sangat banyak dan sangat kompleks. Hal tersebut, sebagian, telah disadari oleh
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menerbitkan pedoman baru tentang penilaian hasil belajar. Walaupun
pedoman baru telah diterbitkan, tampaknya pemahaman para guru tentang penilaian
hasil belajar, khususnya dalam pembelajaran sains kimia masih perlu
ditingkatkan karena kegagalan dalam mengkonstruksi instrumen penilaian hasil
belajar erat kaitanya dengan kegagalan dalam memahami hakikat sains kimia dan
pembelajarannya.
Paradigma Penilaian Hasil Belajar Sains (Kimia)
Penilaian
adalah jantung pengalaman siswa (Brown & Knight,
1994) dan bisa menjadi alat yang ampuh dalam memastikan keterlibatan dan
keberhasilan siswa (Sambell, 2016) jika diterapkan dengan tepat. Pendekatan
penilaian tradisional (assessment of learning) tampaknya memiliki efek
sebaliknya, sering berhasil menciptakan perasaan patuh dan tidak berdaya
(Sambell, 2016). Oleh karena itu ada dua pendekatan yang perlu dipertimbangkan dalam
alternatif penilaian, yaitu penilaian untuk pembelajaran (assessment for
learning), dan penialain sebagai pembelajaran (assessment as learning). Melalui
pendekatan ini dapat menghasilkan peningkatan keterlibatan dan keberhasilan
siswa serta peningkatan pemikiran kritis dan keterampilan evaluatif pada siswa.
Penilaian yang dilakukan dalam pembelajaran tidak hanya penilaian atas
pembelajaran (assessment of learning), tetapi juga penilaian untuk
pembelajaran (assessment for learning), dan penialain sebagai
pembelajaran (assessment as learning). Dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa penilaian hasil belajar tidak hanya ditujukan untuk mengukur capaian atas
pembelajaran, tetapi juga untuk perbaikan pembelajaran dan sebagai bahan
pelajaran. Oleh karena itu, perbaikan paradigma pembelajaran dapat digunakan
sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran (Earl,
2003; 2012).
Dengan
memperhatikan kondisi nyata penilaian hasil belajar sains (kimia) yang
dilakukan di sekolah dan di perguruan tinggi saat ini, hakikat sains (kimia),
dan hakikat pembelajaran sains kimia, paradigma penilaian hasil belajar sains
kimia harus diperbaharui. Pembaharuan tersebut dapat dilakukan dalam tiga aspek
pokok, yaitu: pembaharuan lingkup penilaian, pembaharuan objek penilaian, dan
pembaharuan waktu penilaian.
Pembaharuan
paradigma dalam lingkup penilaian adalah perubahan pola pikir terhadap cakupan
aspek hasil belajar yang harus dinilai. Dalam hal ini, penilaian hasil belajar
sains (kimia) hendaknya menuju pada penilaian komprehensif dan
kontekstual. Yang dimaksud penilaian komprehensif dan kontekstual dalam
pembelajaran sains (kimia) adalah penilaian hasil belajar yang melibatkan penilaian
proses dan penilaian produk dengan melibatkan ketiga ranah penilaian,
yaitu ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta mengikutsertakan
lingkungan sekitar dalam mengkonstruk pemahaman dan pengetahuan. Penilaian
pengetahuan dilakukan sesuai dengan tuntutan kompetensi yang dirumuskan dalam
kurikulum, penilaian sikap diarahkan pada perkembangan sikap ilmiah yang
dimiliki oleh peserta didik, dan penilaian keterampilan ditekankan pada
penilaian kemampuan peserta didik dalam mengimplementasikan metode ilmiah (Tacoshi & Fernandez, 2014).
Di antara tiga
ranah penilaian tersebut (sikap, pengetahuan, keterampilan), pengembangan sikap
dan keterampilan memerlukan waktu dan kesabaran para pendidik. Pengembangan
sikap harus dikondisikan secara terus menerus sampai menjadi kebiasaan. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan membuat tantangan-tantangan masalah bagi
peserta didik yang harus dipecahkan dengan dorongan rasa ingin tahu, secara
jujur, secara hati-hati, secara objektif, dan lainlain (Fernandez, Holbrook,
Mamlok-Naaman & Coll, 2013). Pengembangan keterampilan harus diulangi
berkali-kali sampai terampil. Misalnya, melakukan pengukuran berat dengan jalan
menimbang harus dilakukan berkali-kali sampai peserta didik mampu menimbang zat
yang dibutuhkan dengan takaran yang tepat dan dalam waktu yang singkat. Apabila
penilaian sudah dilakukan dengan melibatkan produk dan proses sains (kimia),
maka hal berikutnya yang harus diperhatikan adalah memberikan proporsi bobot
penilaian agar sesuai dengan kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum (Shwartz, Dori & Treagust, 2013; Jamison, 2013; Hume
& Coll, 2009).
Pembaharuan
paradigma dalam objek penilaian adalah perubahan pola pikir terhadap hal-hal
yang harus dinilai sebagai hasil belajar sains. Dalam hal ini, penilaian hasil
belajar harus diarahkan pada penilaian otentik. Artinya, penilaian
harus dilakukan sesuai dengan kegiatan real pembelajaran yang dilakukan oleh
peserta didik. Jangan sampai penilaian dilakukan tidak sesuai dengan
kegiatan yang dilakukan peserta didik dalam pembelajaran (Mueller, Stiggins,
1987). Misalnya, apabila peserta didik dituntut untuk melakukan praktikum dan
melaporkan hasil praktikumnya, maka penilaian harus melibatkan proses praktikum
yang dilakukan peserta didik dan penilaian terhadap laporan hasil praktikum
yang dibuatnya; apabila peserta didik diminta untuk berdiskusi untuk memahami
suatu materi, maka penilaian hasil belajarnya harus melibatkan penilain
kegiatan diskusi dan penguasaan materi yang didiskusikan.
Pembaharuan
paradigma dalam waktu penilaian adalah perubahan pola pikir terhadap jalannya
penilaian. Dalam hal ini, penilaian hasil belajar harus dilakukan secara terus
menerus selama proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar sains (kimia) tidak
boleh dilakukan hanya berdasarkan capaian saat UTS dan UAS saja, melainkan perkembangan
peserta didik dalam keseharian harus diperhatikan, terutama perkembangan
sikap ilmiah dan keterampilan ilmiah yang dimiliki selama proses pembelajaran
berlangsung. Penilaian yang dilakukan hendaknya berbasis pada kegiatan kelas
yang mana penilaian ini dimaksudkan menilai keseluruhan aktivitas siswa
secara kognitif, afektf, psikomotor yang tumbuh dan timbul di dalam kelas saat
proses pembelajarn berlangsung (McDonald, 1992).
1.
FILSAFAT,
IDEOLOGI, PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme berarti bersifat membangun. Dalam konteks
filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan
hidup yang berbudaya modern. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bahwa
konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya membangun, membangun dari
segi kemampuan, pemahaman, dalam proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki
sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan dari pada siswa akan meningkat
kecerdasannya. Merasa kurang lengkap untuk mengetahui dari pada teori
konstruktivisme sebelum mengetahui pendapat-pendapat dari pada pakar ahli,
diantaranya yaitu: Konstruktivisme sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang di pelajari. Konstruktivisme
merupakan bagaimana menghasilkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya, dengan
kata lain bahwa bagaimana memadukan sebuah pembelajaran dengan melakukan atau
mempraktikkan dalam kehidupannya supaya berguna untuk kemaslahatan. Konstuktivisme
adalah aktivitas yang aktif, di mana peserta didik membina sendiri
pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan
proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang
telah ada dimilikinya (Shymansky, 1992).
Konstruktivisme adalah teori belajar yang berpendapat
bahwa pengetahuan paling baik diperoleh melalui proses refleksi dan konstruksi
aktif dalam pikiran (Mascolo & Fischer, 2005). Konstruktivisme
berarti siswa membangun pengetahuan mereka dengan menghubungkan pengetahuan
sekarang dengan pengetahuan yang ada atau sebelumnya. Konstruktivis menekankan
peran siswa dalam proses pembelajaran. Dibangun di atas karya Jean Piaget, Lev
Vygotsky, dan teori konstruktivis lainnya didasarkan pada premis bahwa individu
harus terlibat secara sosial dalam pembelajaran, secara aktif menciptakan
pengetahuan dari basis pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman pribadi yang ada
(Jena & Behera, 2019). Dari teori konstruktivisme muncul tiga literatur
tentang konstruktivisme dan berimplikasi pada lingkungan belajar yaitu: (1)
belajar adalah proses aktif, (2) pelajar memiliki pengetahuan sebelumnya, dan
(3) pelajar bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri (Yager, 1991; Cobb et al 1992, Magoon, 1977; Hewson &
Hewson, 1988).
Berdasarkan pendapatnya di atas, maka dapat di pahami
bahwa konsturktivisme merupakan bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara
memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memahami apa yang mereka telah
pelajari dengan cara menerpakan konsep-konsep yang di ketahuinya kemudian
mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan pendapat para
ahli di atas, maka dapat dibuat sebuah kesimpulan yaitu konstruktivisme
merupakan sebuah teori yang memberikan keluasan berfikir kepada siswa dan
memberikan siswa di tuntut untuk bagaimana mempraktikkan teori yang sudah di
ketahuinya dalam kehidupannya.
Konstruktivisme Jean
Piaget
Jean Piaget dikenal sebagai salah satu ahli teori pertama
dalam konstruktivisme. Teorinya menunjukkan bahwa manusia menciptakan
pengetahuan melalui interaksi antara pengalaman dan ide mereka. Pandangannya
tentang konstruktivisme menjadi inspirasi bagi konstruktivisme radikal karena
gagasannya bahwa individu adalah pusat dari proses penciptaan dan perolehan
pengetahuan. Sebagian besar teori Piaget berkembang di mana ia akan menantang
gagasan bahwa anak-anak adalah pemikir yang lebih rendah dibandingkan dengan
orang dewasa. Karyanya memberikan bukti bahwa anak-anak secara kognitif tidak
kalah dengan orang dewasa. Ia membuktikan bahwa anak-anak berkembang secara
berbeda dengan membangun teori yang melibatkan tahapan kognitif (Babakr et.al,
2019).
Konstruktivisme
Piaget
Teori kognitif Piaget mengeksplorasi bagaimana anak-anak
berkembang. Teorinya membagi perkembangan menjadi empat tahap terpisah. Meskipun
Piaget tidak pernah mengaitkan penelitiannya tentang perkembangan kognitif
dengan pendidikan secara langsung, Teorinya memainkan peran penting dalam
kontribusinya pada teori pembelajaran (Lourenço & Machado, 1996).
Konstruktivisme Lev Vygotsky
Karya Lev Vygotsky mengandung ruang lingkup sentral yang
berfokus pada aspek sosial untuk memperoleh pengetahuan. Dia menyarankan bahwa
seseorang belajar paling baik melalui interaksi dengan orang lain. Melalui
proses bekerja dengan orang lain, pebelajar menciptakan lingkungan makna
bersama dengan teman sebayanya. Dengan tenggelam dalam lingkungan baru,
pebelajar mampu mengadaptasi interpretasi subyektif untuk diterima secara
sosial. Vygotsky secara khusus menekankan bahwa budaya memainkan peran besar
dalam perkembangan kognitif. Dia percaya bayi dilahirkan dengan kemampuan dasar
untuk berkembang secara kognitif. Kemampuan dasar tersebut kemudian
ditingkatkan melalui interaksi dengan orang lain dan akhirnya berkembang
menjadi proses mental yang lebih canggih. Misalnya, seorang anak lahir dengan
kemampuan dasar menghafal. Saat anak berinteraksi dengan lingkungan dan teman
sebayanya, metode mengingatnya beradaptasi. Jika anak berada dalam lingkungan
belajar yang menekankan flashcards, anak akan menggunakan metode
pengulangan yang serupa untuk meningkatkan daya ingat. Mirip dengan adaptasi
Piaget terhadap konstruktivisme radikal dari teori perkembangan kognitifnya,
Vygotsky menarik dari teorinya sendiri tentang perkembangan sosial. Vygotsky
percaya bahwa pembelajar dapat mencapai tingkat pembelajaran yang jauh lebih
tinggi melalui bantuan dari orang Lain (instruktur) yang lebih berpengetahuan
(Vasileva & Balyasnikova, 2019).
Konstruktivisme John Dewey
Perspektif John Dewey memadukan fokus Piaget pada aspek
kognitif konstruktivisme dengan fokus Vygotsky pada pembelajaran sosial. Susan
J. Mayer (2008) memuat sinopsis tempat Dewey dalam konstruktivisme bahwa
bertentangan dengan asumsi mereka yang memasangkan Dewey dan Piaget berdasarkan
sejarah progresivisme baru-baru ini, Dewey berbagi keprihatinan yang lebih luas
dengan Vygotsky (yang karyanya tidak pernah dia baca). Baik Dewey maupun
Vygotsky menekankan peran bentuk dan makna budaya dalam melanggengkan bentuk
pemikiran manusia yang lebih tinggi, sedangkan Piaget berfokus pada peran yang
dimainkan oleh penalaran logis dan matematis. Di sisi lain, dengan Piaget,
Dewey menekankan pemeliharaan penalaran independen yang menjadi pusat warisan
Protestan liberal yang dimiliki oleh kedua pria tersebut (Mayer, 2008)
Sama seperti Piaget dan Vygotsky yang tidak percaya pada
hafalan hafalan dan ceramah berulang, karya Dewey menyatakan bahwa pebelajar
yang terlibat dalam aktivitas dunia nyata akan mampu menunjukkan tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi melalui kreativitas dan kolaborasi. Penekanan
Dewey pada pembelajaran yang mempertahankan inkuiri dipicu paling baik dengan
memastikan sintesis lingkungan. Banyak guru pada saat itu bersikeras memisahkan
sekolah dari kehidupan anak-anak lainnya. Dewey tidak mematuhi hal tersebut.
Penelitiannya menegaskan bahwa peserta didik perlu menghubungkan pengalaman
kehidupan nyata dengan kegiatan sekolah untuk membuat pembelajaran menjadi nyata
(Behling & Hart, 2008).
Evaluasi belajar dalam Teori Belajar Konstruktivisme
Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme mengemukakan
bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi
terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang
di dasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha
mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar
antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan
konstruktivistik. Pembelajaran yang di programkan dan di desain banyak mengacu
pada obyektifis, sedangkan Piaget dan tugas-tugas belajar discovery lebih
mengarah pada konstruktivistik (Franzoi, S. L, 2011).
Obyektifitas mengakui adanya reliabilitas pengetahuan,
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan
tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat di analisis dan di uraikan, dan pemahaman
seseorang akan di hasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur
dunia nyata sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata (Sosial
environment). Hal ini memiliki tujuan untuk menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan di berikan kepada para siswanya. Dalam Teori Belajar Konstruktivisme ini, pengetahuan
yang di miliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat
di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, di perlukan peranan aktif
dari orang tersebut. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
mengemukakan bahwa realita ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Teori belajar
Konstruktivisme mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya (Construct their own
live), struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa.
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional
lebih di arahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan Teori Belajar
Konstruktivisme menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu
konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
akan lebih obyektif jika evaluator tidak di beri informasi tentang tujuan
selanjutnya. Jika tujuan belajar di ketahui sebelum proses belajar di mulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada
evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa. Pembelajaran
dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi Teori Belajar Konstruktivisme.
Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat di nilai dengan metode evaluasi goal-free.
Evaluasi yang di gunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik,
memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Bentuk-bentuk
evaluasi dalam Teori Belajar Konstruktivisme dapat di arahkan pada tugas-tugas
autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir
yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill,
atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi
Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada
konteks yang luas dengan berbagai perspektif..
Filsafat/Ideologi/Paradigma Konstruktivisme dengan
mengadaptasi dari Tabel Ernest (1995), Marsigit (2015) secara rinci terkait
konstruktivisme dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran/Tabel 1).
Tabel 1. Filsafat/Ideologi/Paradigma Constructivsm
|
Contructivism |
Politics |
Demokrasi,
Nasionalisme |
Sciences/ Knowledge |
Kreatif, Interaktif |
Moral value |
Justice/Freedom
Moral |
Theory of Society |
Need a reform |
Theory of Student |
Konstruktif |
Theory of Ability |
Need, Hermeneutics |
Aim of Education |
Construct their own live |
Theory of Learning |
Otonomi
Motivasi-intern Konstruktivis |
Theory of Teaching |
Konstruktivis,
Interaktif Hermeneutics |
Resources |
Social
Environment |
Evaluation |
Portofolio/ Social Context |
Diversity |
Hetereougonomous |
Berdasar uraian dapat di simpulkan bahwa
dalam Teori Belajar Konstruktivisme adalah proses belajar yang tidak dapat di
pisahkan dari aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai
hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial.
Konstruktivisme berarti
bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern (demokratis).
6. PRAKSIS PENILAIAN INOVATIF
a. SINTAKS PENILAIAN
Penilaian
merupakan suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk
mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam
rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbanagan
tertentu. Definisi dari penilaian juga disampaikan oleh Ralph Tyler yang
mengungkapkan bahwa penilaian merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk
menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah
tercapai. Menurut Griffin dan Nix, penilaian adalah suatu pernyataan
berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan tentang karakteristik seseorang
atau sesuatu. Gronlund dan Linn (1973) mendefinisikan tentang sebuah penilaian
sebagai suatu proses yang sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan,
menganalisis, serta menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa
jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan, baik aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan.Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah suatu
proses pengumpulan informasi secara menyeluruh yang dilakukan secara terus
menerus untuk mengetahui kemampuan atau keberhasilan siswa dalam pembelajaran
dengan menilai kinerja siswa baik kinerja secara individu maupun dalam kegiatan
kelompok. Penilaian itu harus mendapatkan perhatian yang lebih dari seorang
guru. Dengan demikian, penilaian tersebut harus dilaksanakan dengan baik,
karena penilaian merupakan komponen vital (utama) dari pengembangan diri yang
sehat, baik bagi individu maupun bagi organisasi/kelompok.
Praksis
penilaian inovatif adalah hal yang menunjukkan penilaian inovatif yang mampu
dan dekat dalam kegidupa sehari-hari. Penilaian inovati memiliki sintaks
penilaian yang dsesuikan dengan bentuk penilaian yang dipilih Menurut ideologi
dan paradigma penilaian yang disampaikan Marsigit (2014) bahwa ketika akan
melaksanakan sebuah penilaian maka hal yang perlu dilakukan adalah mengamati
secara betul berbagai obyek tentang hal yang akan diamati. Sintaks penilaian
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Praksis
penilaian dengan Ideologi Otoritariarizm/Behaviorism/Absolutism/Kapitalism
Politik ternyata memberikan dampak dan
pengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam melakukan penilaian pada proses
pembelajaran. Berdasarkan Tabel 1/(Lampiran) tentang
Fisafat/Ideologi/Paradigma bahwa berbagai macam politik menjadi penentu proses
pembelajaran. Proses pembelajaran sebagai penentu proses penilaian. Pendidikan
Otoritarianism misalnya memakai politik Konservatif. Hal ini berdampak pada moral
yang akan dibangun adalah mengedepankan egosentris.Pada Pendidikan otoriarism
siswa masih dianggap seperti gelas yang kosong maka guru dalam proses
pembelajarn tugasnya hanya memberikan ilmu (Transfer knowledge) untuk memenuhi gelas kosong dan mencapai
target. Sehingga evaluasi yang digunakan guru sudah pasti evaluasi yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah karena politik yang digunakan adalah otorianism.
Evaluasi ini disebut sebagai eksternal test, yang mana evaluasi yang
digunakan cenderung menggunakan soal-soal yang sudah dibuat oleh Lembaga tertentu
dan diberikan ke seluruh sekolah atau jenjang, dan tidak memikirkan kemampuan
lain yang dimilik oleh siswa. Hasil akhir berupa skor yang mana skor ini lah
yang menjadi tolak ukur dalam menentukan kompetensinya.Jika siswa mampu
menjawab dengan benar, mendapat skor yang bagus, memenuhi indicator yang
ditetapkan oleh pemerintah maka disitulah letak penilaian yang sebenrnya
dikatakan tidak inovatif.
2.
Praksis
penilaian dengan Ideologi Constructivism/Demokratics/Progressive/Scienticism
Proses pembelajaran yang lain misal
menggunakan ideologi yang berada di sebelah kanan (Tabel 1/Lampiran)
yang mana menggunakan Contructivism, maka sintaks penilaian juga akan ikut
berubah. Misalnya politik yang dibangun dalam Pendidikan yang digunakan adalah
Demokrasi. Melalui politik demokrasi maka cara pembelajaran dalam menentukan
ilmu dan pengetahuan adalah melalui kegiatan yang sifatnya kreatif-interaktif.
Dengan cara kreatif ini, maka Pendidikan tidak lagi menganggap siswa itu
seperti gelas yang kosong, tapi siswa diberikan kesempatan untuk
sebebas-beasnya dalam mengkonstruk pengetahuannya. Kemampuan yang bisa jadi
muncul dari siswa bisa berupa ketrampilan dan sikap dan tidak melulu tentang
kognitif. Maka penilaian yang patut untuk dilakukan bukan lagi berbentuk soal
tes. Tetapi banyak penilaian yang bisa digunakan sebagai bukti kemampuan siswa.
Bisa berupa penilaia autentik (penilaian kinerja, proyek) atau penilaian
berbasis kelas yang bisa diamati di kelas saat siswa mengkonstruk
pengetahuan untuk melihat kemampuan sikap/afektifnya. Tujuan pembelajaranya
bukan lagi pada hanya investasi saja tetapi memang mencoba mengkonstruk semua
pengalaman dalam hidupnya. Hal ini tentu membuat sistem penilaian yang
dilakukan juga akan berproses, tidak tegas hanya pada satu kompetensi saja, dan
bisa berkembang sesuai dengan proses kontruksi yang dijalani oleh siswa. Misalkan
siswa ingi melakukan kegiatan yang mengasah ketrampilan, maka guru harus
mempersiapkan penilaian yang disesuaikan dengan komptensi ketrampilan dan
dilakukan melalui penilaian authentic seperti penilaian
kinerja/portofolio/proyek. Dengan begitu penilaian ini sifatnya fleksibel
menyesuaikan dengan kompetensi apa yang harus diukur. Maka penilaian ini bisa
dikatakan penilaian yang inovatif, yang tidak menuntuk siswa hanya paham
dan hafal, tapi semua proses belajar mereka konstruk dan dinilai berdasarkan
proses yang dijalani.
b. PENILAIAN BERBASIS KELAS
Classroom
Bases Assessment (CBA)
telah berkembang sepanjang dua lintasan utama yaitu pembangunan teori untuk
lebih memahami konseptual dasar (membangun) dan menganalisis bagaimana hal itu
diberlakukan di ruang kelas di tingkat pendidikan yang berbeda dan di lokasi
dunia yang berbeda. Oleh karena itu, definisi kerja penilaian berbasis kelas
kami adalah: Setiap kegiatan kelas yang dipimpin guru dirancang untuk
mengetahui kinerja siswa pada tugas-tugas kurikulum yang akan menghasilkan
informasi mengenai pemahaman mereka serta kebutuhan mereka (Lewkowicz &
Leung, 2021).
Berdasar Tabel
3 (Lampiran) ada berbagai macam pendekatan pembelajaran yang menggunakan
penilaian berbasis kelas. Pendekatan pembelajarn tersebut adalah Positive
Behavior Support (PBS), Pendekatan Collaborative, dan pendekatan
Individually. Pendekatan ini menggunakan penilaian berbasi kelas
dengan mempertimbangan proses pembelajarn yang dilakukan dan proses penilaian
yang tepat dan ideal. Salah satu bentuk penilaian yang digunakan untuk
pembelajaran berbasis kelas ini adalah penilaia diri (Self-assessment)
dan penilaian sikap (melalui lembar observasi). Sintaks dalam membuat penilaian
tersebut diantaranya adalah:Revs
1.
Menentukan
tujuan penilaian
2.
Membuat
kisi-kisi penilaian
3.
Mengembangkan
instrument dari kisi-kisi penilaian
4.
Uji
coba instrument penilaian
5.
Revisi
Instrumen
6.
Perakitan
instrume kembali
c. ASESMEN DAN PORTOFILIO
Penilaian autentik adalah proses pengumpulan informasi
oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh
peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan,
atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar
dikuasai dan dicapai. Penilaian autentik merupakan suatu bentuk tugas yang
menghendaki pebelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara
bermakna yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan. Menurut
Stiggins, penilaian autentik merupakan penilaian kinerja (perfomance)
yang meminta pebelajar untuk mendemonstrasikan keterampilan dan kompetensi
tertentu yang merupakan penerapan pengetahuan yang dikuasainya.
Wiggins (1998) menyarankan standar penilaian autentik
berikut ini. Tugas penilaian adalah autentik bila:
1. Realistis. Tugas penilaian harus mengikuti
dengan cermat cara-cara di mana kemampuan seseorang "diuji" dalam
kata sebenarnya. Misalnya, sebagai mantan penari, kami mempraktikkan latihan
menari seperti plies, jetes, turns, dan sebagainya di kelas balet. Ini hanyalah
latihan. Tugas penilaian realistis akan ditemukan dalam kinerja ballet
sebenarnya. Di Ballber Nutcracker Suite, anggaplah pemeran, saya terpaksa
menunjukkan apa yang bisa saya lakukan. Ini adalah tes yang realistis, ukuran
penilaian yang autentik.
2. Hal ini membutuhkan penilaian dan
inovasi. Disini siswa
harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah.
3. Menilai kemampuan dan keterampilan
siswa untuk secara
efektif dan efisien menggunakan repertoar banyak keterampilan untuk
menyelesaikan masalah atau tugas. Dalam hal mengakses lebih dari sekedar
keterampilan verbal atau matematis, penilaian autentik bergantung pada semua
kecerdasan yang dapat dikembangkan seseorang.
4. Memungkinkan banyak kesempatan untuk berlatih,
berlatih, berkonsultasi, mendapatkan umpan balik, dan memperbaiki
pertunjukan dan produksi aktual. Dengan kata lain, siswa harus belajar sesuatu
dan menjadi lebih baik dalam melakukan tugas yang ada.
Penilaian autentik berbeda dari ukuran
standar dan alternatif karena mereka berbasis kinerja dan mencakup
keputusan dan perilaku nyata dalam profesi dalam sebuah disiplin. Ciri penilaian
autentik sebagai hal yang sah karena mereka secara intelektual menantang namun
responsif terhadap siswa dan sekolah. Penilaian autentik tidak berfokus pada
pengetahuan faktual sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, ini berfokus pada kemampuan
untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan proses yang relevan untuk
memecahkan masalah terbuka selama tugas yang berarti. Faktor kunci lain
yang membedakan penilaian autentik dari yang tradisional adalah bahwa mereka
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengintegrasikan berbagai jenis
pembelajaran (Stiggins, 1987).
Penilaian Unjuk Kerja
Penilaian unjuk kerja (performance
assessment) sebagai salah satu teknik penilaian jika dibandingkan dengan
teknik penilaian paper and pencil memiliki banyak keunggulan. Teknik ini
menurut Reynolds (2010) sangat tepat dan telah banyak diaplikasikan dalam
berbagai konteks, seperti: 1. Laboratory classes; 2. Mathematics classess;
3. English, foreign-language, debate classes; 4. Social studies classes; 5. Art
classes; 6. Physical education classes; dan 7. Music classes. Menurut Van
Blerkom (2009) dalam penilaian unjuk kerja (performance assessment) terdapat
tiga tipikal karakteristik yang dapat dikelompokkan berdasarkan dimensi,
meliputi: (1) menilai proses atau produk; (2) menggunakan simulasi atau
kejadian nyata (real settings); dan (3) menggunakan peristiwa alami
(natural) atau peristiwa dan situasi yang terstruktur (structured settings).
Selanjutnya ia mengungkapkan pula
perbedaan antara penilaian unjuk kerja (performance assessment) dengan teknik
penilaian tradisional yang berbasis paper and pencil seperti: (1)
Penilaian unjuk kerja lebih mendekatkan pada refleksi kehidupan yang nyata dan
lebih dekat kepada aturan dan penerapan pada dunia nyata daripada penilaian
tradisional yang masih berbasis penilaian pensil dan tes; (2) Penilaian unjuk
kerja melibatkan berbagai bentuk penilaian, dan (3) Penilaian unjuk kerja
melibatkan evaluasi yang subjektif dari unjuk kerja yang ditampilkan oleh
peserta didik (Reynolds, 2010)
Portofolio assessments
Penilaian portofolio memungkinkan guru
dan siswa mengumpulkan bukti kemampuan siswa dan skilsl dalam jangka waktu yang
lama.Portofolios berisi contoh karya siswa, biasanya dipilih oleh siswa
berdasarkan pedoman yang disiapkan oleh guru. Ini adalah pengumpulan informasi
yang sangat terarah (Chase, 2006). Selanjutnya, portofolios berfokus pada
pencapaian siswa, dengan penekanan khusus pada pekerjaan terbaik mereka atau
pertumbuhan selama periode waktu tertentu. Gagasan portofolio adalah untuk
memamerkan jenis barang di mana siswa unggul, bukan untuk menunjukkan halhal
yang tidak dapat mereka lakukan. Selain itu, fokusnya adalah pada penilaian
produk, bukan proses (Oosterhof, 2003).
Berdasar Tabel
3 (Lampiran) ada berbagai macam pendekatan pembelajaran yang menggunakan
penilaian otentik (Authentic Assessment). Pendekatan pembelajarn
tersebut adalah Pendekatan STEAM, Inquiry, Pjbl, Brunner, Scientific,
Montessori, Collaborative, Challenges, Inclussive, Joyfull Learning,
Authentics, Lab Practice. Pendekatan ini menggunakan penilaian otentik
dengan mempertimbangan proses pembelajarn yang dilakukan dan proses penilaian
yang tepat dan ideal. Salah satu bentuk penilaian yang digunaan adalah berupa
penilaian kinerja (performance assessment) dan portofolio. Peniaian ini
berbentuk lembar observasi untuk menilai kinerja ataupun proyek, tugas, produk
yang dilakukan oleh siswa pada saat proses pembelajaran kimia pada jenjenag SD.
Penilaian portofolio memiliki lima tahap
yaitu: (Davis & Ponnamperuma, 2005)
1. Pengumpulan bukti pencapaian pembelajaran
hasil
2. Refleksi pembelajaran
3. Evaluasi bukti
4. Pertahanan bukti
5. Keputusan penilaian
Penilaian portofolio harus difokuskan
pada hasil belajar kurikulum. Daya tarik portofolio adalah kemampuannya termasuk
bukti pencapaian semua hasil belajar datang selama proses pembelajaran.
Penilaian portofolio sering digunakan karena ada beberpa alasan yaitu penilaian
portofolio mampu menilai kinerja dan hasil
secara professional (Davis et al, 2001).
Link download lebih lengkap: https://bit.ly/3CoJvqv
Referensi
Bennett,
R. E. (1997), Reinventing assessment: Speculations on the future of large-scale
educational testing. ETS.
Bennet,
J., Dunlop, L., Knox, K.J., & Whitehouse, M. (2017). The assessment of
chemistry subject knowledge in secondary education: a critical evaluation of
the literature. University of York.
Bailey,
K. M. (1998). Learning about language assessment: dilemmas, decisionjs, and
directions. Heinle & Heinle: US.
Callahan,
J., & Clark, L.H. Foundations of Education Planning for Competence. New
Jersey: Prentice Hall
Chase,
Richard, B., Aquilano, Nicholas, J. and Jacobs, F. Robert. (2006). Operations
Management for Competitive Advantage. 11th edition, McGraw-Hill Irwin, Boston.
Davies,
D., Snape, D.J., Collier, C., Digby, R., Hay, P., & Howe, A. (2013).
Creative learning environments in education- A systematic literature review.
Thinking Skills and Creativity 8 (2013) 80– 91.
Dikli, S.
(2003). Assessment at a distance: Traditional vs. Alternative Assessments. The
Turkish Online Journal of Educational Technology, volume 2 Issue 3 Article 2.
Fine,
G.A., & Snadstorm, K. (1993). Ideology in Action: A Pragmatic Approach to a
Contested. Sociological Theory, Vol. 11, No. 1 (Mar., 1993), pp. 21
Garfield
J.B. (1994). Beyond Testing and Grading: Using Assessment To Improve Student
Learning. Journal of Statistics Education, 2:1.
Gronlund,
N. E. (1973). Preparing Criterion Referenced Test for Classroom Instruction.
New York: The Macmillan Publishing Company.
Handel,
M., Lockl, K., Heydrich, S.W., & Artelt. (2014). Assessment of
metacognitive knowledge in students with special educational needs.
Metacognition and Learning, 9(3),333–352.
DOI:
10.1007/s11409-014-9119-x
Kalyani,
D* & Rajasekaran, K. (2018). Innovative teaching and learning. Journal of
Applied and Advanced Research, 2018: 3(Suppl. 1) S23-S25.
https://dx.doi.org/10.21839/jaar.2018.v3S1.162Shohamy,
E. 2001: The power of tests: a critical perspective on the uses of language
tests. London: Longman . Google Scholar.
Maranan,
V.M. (2017). Basic Process Skills and Attitude Toward Science: Inputs To An
Enhanced Students’ Cognitive Performance: Laguna State Polytechnic University.
Marsigit.
(2013). Pergulatan Memperebutkan Filsafat, Ideologi dan Paradigma: Sebuah
Kesadaran untuk Lembaga Pendidikan Ke Islaman dalam rangka ikut Membangun
Karakter Bangsa (Melalui KKNI dan Kurikulum 2013), Makalah yang dipresentasikan
dalam seminar dan Workshop pada tanggal 13 dan 14 September 2013.
Marsigit.
(2014). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinajuan Filsafat,
Politik dan Ideoligi Pendidikan, Makalah yang dipresentasikan pada Rapat
Majelis Guru Besar UNY pada tanggal 23 Juni 2014.
McMillan,
J. H. (2001). Classroom assessment. Principles and Practice for Effective
Instruction. Boston: Ed Allyn and Bacon.
Mascolo,
M. F., & Fischer, K. W. (2005). Constructivist theories. Cambridge
Encyclopedia of Child Development (pp. 49-63). Cambridge, England: Cambridge
University Press.
Mayer, S.
J. (2008). Dewey's dynamic integration of Vygotsky and Piaget. Education and
Culture, 24(2), 6-24
McMillan,
J.H. and Schumacher, S. (2001) Research in Education. A Conceptual
Introduction. 5th Edition, Longman, Boston.
Noddings,
Nel (1995). Philosophy of Education. Boulder, CO: Westview Press
Oosterhof,
A. (2003). Developing and Using Classroom Assessment. New York: R.R Donnelley
& Company 3rd Edition.
Reynolds,
C.R. add.all. (2010). Measurement and Assessment in Education. USA: Pearson
Education LTD.
Shank er,
U. (2007). Philosophy of Education for Modern India. New Delhi: Pergamon Press
Shymansky,
J. (1992). Using Constructivist Ideas to Teach Csience Teachers About
Constructivist Ideas, or Teacher Are Students Tool. Journal of Science Teacher
Education. 3 (2), 53-57.
Simonson
M., Smaldino, S, Albright, M. and Zvacek, S. (2000). Assessment for distance
education (ch 11). Teaching and Learning at a Distance: Foundations of Distance
Education. Upper Saddle River, NJ:Prentice-Hall.
Stiggin,
R.J. (1994). Student Centered Classroom Assessment. New York: Mac Millan
College Publishing Company.
Tacoshi,
M.M.A., & Fernandez, C. (2014). Knowledge Of Assessment: An Important
Component in The Pck of Chemistry Teachers. Problems of education in the 21st
century Vol.62.
Vasileva,
O., & Balyasnikova, N. (2019). (Re)Introducing Vygotsky’s Thought: From
Historical Overview to Contemporary Psychology. Contemporary Psychology. Front.
Psychol. 10:1515. doi: 10.3389/fpsyg.2019.01515
Warnes,
E. D., Sheridan, S. M., Geske, J., & Warnes, W. A. (2005). A contextual
approach to the assessment of social skills: Identifying meaningful behaviors
for social competence. Psychology in the Schools, 42(2), 173–187.
https://doi.org/10.1002/pits.20052.
Wiggins,
G. P., (1993). Assessing Student Performance: Exploring the Limits and Purpose
of Testing. San Francisco: Jossey-Bass Publishers
Yambi,
T.D.A.C. (2018). Assessment and Evaluation in Education.
https://www.researchgate.net/publication/342918149
Yager,
R.E. (1991). The Constructivist Learning Model.” The Science Teacher, 58(6),
pp: 53-57.
Komentar
Posting Komentar